Sebagai manusia yang tidak terlepas dari alfa dan salah, meminta "maaf" adalah salah satu etika sekaligus skill bertahan hidup. Pasalnya tidak semua orang memiliki kemampuan tersebut, terkadang rasa besar kepala, merasa paling benar dan gengsi yang tinggi menjadi penghalang bagi seseorang mengakui kesalahan dan meminta maaf.Â
Namun, ketika minta maaf terus berulang menjadi sebuah habbits bahkan hobby baru, ada dua kemungkinan yang menjadi alasannya secara umum, pertama, karena sesorang tersebut terus mengikuti kesalahan, kedua karena seseorang tersebut terkena "sorry syndrom", benar atau pun salah, orang yang sorry syndrom akan selalu merasa salah dan meminta maaf.Â
Menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan di Psychological Science, wanita cenderung lebih mudah meminta maaf dibandingkan pria. Sehingga mereka lebih rentan terkena sorry syndrome. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa wanita mengakui lebih banyak pelanggaran dibandingkan pria, yang cenderung memiliki gengsi lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk meminta maaf.Â
Meski demikian, dalam situasi tertentu, hasil penelitian ini mungkin tidak selalu relevan, tergantung situasi dan karakter manusia itu sendiri. Selain itu, ada lima alasan utama mengapa seseorang bisa mengalami sorry syndrome. Alasan-alasan tersebut antara lain:.
1. Mereka Mungkin Mengalami Rasa Rendah Diri
Permintaan maaf yang berlebihan sering kali muncul dari perasaan rendah diri atau kurangnya kepercayaan diri. Orang yang sering meminta maaf mungkin merasa bahwa mereka tidak cukup baik atau selalu melakukan kesalahan, meskipun kenyataannya tidak demikian.Â
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan self-esteem rendah cenderung lebih sering minta maaf untuk meredam potensi konflik atau menghindari penolakan. Karena mereka memiliki tingkat percaya diri yang minim.Â
2. Mereka Cenderung Menghindari Konflik
Permintaan maaf sering kali digunakan sebagai alat untuk meredakan situasi yang berpotensi memicu konflik. Orang yang sensitif terhadap ketegangan sosial atau merasa tidak nyaman dalam situasi konfrontasi akan lebih cenderung meminta maaf untuk mencegah terjadinya konflik.Â
Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa orang yang lebih menghindari konflik, baik di lingkungan kerja maupun kehidupan pribadi, cenderung memiliki kecenderungan lebih besar untuk meminta maaf berulang kali, bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan.
3. Mereka Memiliki Kecenderungan Pleaser
Menurut para psikolog, ada tipe kepribadian yang disebut people pleaser, yaitu orang yang sangat ingin membuat orang lain senang dan nyaman. Mereka takut jika membuat orang lain tidak nyaman, dan sering kali mengucapkan maaf sebagai bentuk usaha menjaga keharmonisan.Â
Dalam hal ini, "maaf" digunakan sebagai tameng agar mereka bisa terus menyenangkan orang lain, tidak mengecewakan orang lain dan menjaga kedekatan sosial.Â
Psikolog Harriet Lerner, dalam bukunya The Dance of Connection, menjelaskan bahwa seringnya minta maaf bisa menjadi tanda bahwa seseorang terlalu peduli pada persepsi orang lain terhadap dirinya, hingga mengorbankan kebutuhannya sendiri.
4. Mereka Dapat Memiliki Trauma atau Pengalaman Buruk di Masa Lalu
Orang yang telah mengalami trauma emosional atau pengalaman buruk di masa lalu, seperti pelecehan verbal atau hubungan yang tidak sehat, mungkin lebih sering meminta maaf karena terbiasa merasa salah atau bertanggung jawab atas hal-hal yang di luar kendalinya.Â
Seperti halnya ditemukan dalam film-film bertema tentang kekerasan dan bulliying, korban dari kekerasan emosional atau pelecehan sering kali mengembangkan kebiasaan minta maaf sebagai cara untuk menghindari ancaman lebih lanjut, bahkan dalam situasi yang netral atau aman. Ini menunjukkan bagaimana trauma masa lalu bisa memengaruhi perilaku seseorang di masa kini.
5. Mereka Bisa Memiliki Kecemasan Sosial
Orang yang sering merasa cemas dalam situasi sosial sering kali merasa bahwa mereka telah melanggar norma atau aturan yang tidak mereka sadari. Ini membuat mereka merasa perlu untuk terus meminta maaf, bahkan ketika tidak ada pelanggaran yang terjadi.Â
Menurut beragam sumber, orang dengan kecemasan sosial merasa tidak nyaman dalam situasi di mana mereka harus berinteraksi dengan orang lain, dan permintaan maaf yang berulang kali adalah salah satu cara mereka mencoba mengurangi ketegangan atau ketidaknyamanan yang mereka rasakan.
Di sisi lain, adakalanya meminta maaf menjadi langkah preventif atas tindakan kesalahan yang mjngkin secara tidak sadar dilakukan, tetapi pada umumnya, permintaan maaf yang murni yaitu yang berangkat dari kesadaran, penyasalan dan pengakuan kesalahan, komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama serta melakukan perbaikan.Â
Dengan demikian, meminta maaf adalah etika yang harus dimiliki setiap orang, tetapi ketika sifatnya berlebihan, hal tersebut bukan solusi, melainkan masalah psikologis yang membutuhkan pengobatan psikis. (*)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H