Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial yang dinamis, istilah waithood menjadi perbincangan hangat di kalangan generasi muda Indonesia, khususnya generasi milenial bungsu dan generasi Z awal.Â
Pasalnya, dalam kehidupan yang semakin kompetitif dan penuh ketidakpastian, banyak yang memilih untuk memperpanjang masa transisi antara remaja menuju dewasa dengan waithood atau menunda pernikahan.Â
Namun, apa sebenarnya yang mendorong mereka untuk menunda pernikahan? Bagaimana fenomena ini mencerminkan perubahan nilai di masyarakat?
Apa Itu Waithood?
Dilansir dari berbagai sumber, secara harfiah, waithood berasal dari dua kata: wait (menunggu) dan hood, yang merujuk pada adulthood (kedewasaan). Jadi, waithood secara sederhana menggambarkan masa tunggu menuju kedewasaan penuh, yang biasanya diasosiasikan dengan pernikahan.Â
Namun, sebenarnya fenomena ini lebih dari sekadar menunda pernikahan karena prinsipnya mencerminkan perubahan besar tentang cara generasi muda memandang komitmen dan kehidupan.
Jika merujuk kepada asal usul istilah, waithood pertama kali diperkenalkan oleh Diane Singerman, profesor di American University pada 2007, dalam penelitiannya tentang anak muda di Timur Tengah.Â
Melalui penelitiannya, Singerman menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi menjadi penghalang utama bagi generasi muda untuk menikah, fenomena yang kini juga semakin terasa di Indonesia.
Refleksi dalam Lagu: Lampu Merah sebagai Metafora
Lagu "Lampu Merah" dari The Lantis yang viral di media sosial tahun lalu, menggambarkan dilematis yang sering kali dirasakan oleh anak muda yang tertinggal dan belum meraih pencapaian yang dinilai luar biasa secara budaya, salah satunya menikah.Â