Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I am a student of Journalistic Communication Studies, I actively read and share writing on several online media sites, both in the form of light articles, short stories, poetry and short opinions related to actual interesting issues. The reason I joined Kompasiana was because I was interested in the various features available to spread kindness to the public

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fenomena Waithood di Indonesia, Dilema Terjebak di Zona "Lampu Merah"

10 Oktober 2024   21:28 Diperbarui: 17 Oktober 2024   18:13 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita memilih waithood | Freepik

Simbolisme "lampu merah" sebagai tanda berhenti di persimpangan jalan merepresentasikan kehidupan yang penuh harapan tetapi terjebak dalam ketidakpastianketidakpastian dan jalan yang berliku. 

'Tapi ku berada di lampu merah

"Ku harap, kau sabar untuk menunggu aku di sana"

"Walau ku berada di lampu merah"

"Ku yakin, smua ini hanyalah hambatan sementara"

Mengapa Generasi Muda Memilih Waithood?

Berbagai faktor berperan dalam mendorong tren waithood di Indonesia. Berdasarkan Jurnal Riset Agama (Andika, dkk), ada beberapa alasan anak muda menunda pernikahan, mulai daribpengaruh pergeseran nilai hingga kesenjangan ekonomi. 

1. Interaksi Global dan Media Sosial

Di era digital, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) telah menciptakan ruang yang memungkinkan pertukaran ide secara bebas. Termasuk Ideologi tentang karir, hubungan, dan kebebasan hidup yang semakin dipengaruhi oleh nilai-nilai global. 

Generasi muda kini lebih terpapar oleh gagasan bahwa menikah bukanlah kendaraan satu-satunya ataupun tujuan akhir hidup, tetapi hanya salah satu dari banyak pilihan. 

Hal ini terlihat, dalam Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial, Wulandari (2024) tentang waithood di Sulawesi Selatan, terlihat bahwa internet memainkan peran besar dalam menyebarkan informasi mengenai menunda pernikahan sehingga semakin diterima di masyarakat. 

2. Kesiapan Mental dan Trauma Psikologis

Pernikahan adalah komitmen jangka panjang, dan tidak semua orang uang usianya ideal untuk menikah merasa siap untuk mengambil langkah besar tersebut. 

Kasus perceraian yang tinggi di Indonesia, termasuk akibat perselingkuhan dan KDRT, menimbulkan trauma bagi banyak individu, baik yang mengalami langsung maupun yang melihat dari jarak dekat. 

Trauma sekunder, atau vicarious trauma, juga terjadi ketika seseorang merasa terbebani oleh pengalaman traumatis orang lain, seperti kisah perceraian para selebritas atau figur publik yang sering kali diekspos secara berlebihan di media.

Ketidakpastian ini menciptakan trust issue, di mana seseorang kesulitan untuk mempercayai  pasangan. Akibatnya, banyak yang merasa lebih aman untuk menunda pernikahan sambil mencari stabilitas emosional.

3. Kesulitan Menemukan Pasangan yang Cocok

Memilih pasangan bukanlah hal yang sederhana. Kriteria kecocokan sering kali berubah seiring berjalannya waktu, dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan, hingga pengalaman hidup. 

Generasi milenial dan Z cenderung lebih selektif dalam memilih pasangan, karena mereka menyadari bahwa pernikahan adalah perjalanan jangka panjang yang memerlukan keselarasan dalam berbagai aspek.

Dalam konteks ini, "cocok" tidak hanya berarti sejalan secara emosional, tetapi juga sefrekuensi dalam hal nilai hidup, pandangan karir, hingga dukungan terhadap kesetaraan gender. 

4. Pengaruh Gerakan Feminisme

Gerakan feminisme yang semakin menguat turut memengaruhi cara pandang perempuan terhadap pernikahan. Perempuan kini lebih menyadari hak-hak mereka dan menuntut kesetaraan dalam hubungan, yang sering kali tidak sejalan dengan norma patriarki yang masih kuat di sebagian besar masyarakat. 

Hal ini menyebabkan banyak perempuan memilih untuk menunda pernikahan hingga menemukan pasangan yang benar-benar menghargai kesetaraan gender.

5. Tekanan Ekonomi dan Generasi Sandwich

Tekanan ekonomi menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak anak muda memilih untuk menunda pernikahan. Kesenjangan ekonomi, tingginya biaya hidup, serta tantangan finansial lainnya membuat mereka berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk membangun rumah tangga. 

Fenomena "generasi sandwich", di mana seseorang harus membagi sumber daya antara orang tua dan anak-anak, juga menjadi faktor yang menambah beban ekonomi bagi mereka yang sedang dalam masa waithood. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan pada Maret 2024, dan salah satu faktor pendukungnya adalah tren waithood yang membantu menurunkan angka pernikahan dini. 

Karena menunda pernikahan hingga individu lebih siap secara finansial dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengurangi beban ekonomi dan meminimalisir beban kemiskinan struktural.

Perspektif Islam tentang Waithood

Dalam Islam, menunda pernikahan bukanlah sesuatu yang selalu dipandang negatif. Dilansir dari berbagai sumber, beberapa ulama besar seperti Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi diketahui menunda pernikahan mereka untuk alasan pendidikan dan ibadah. 

Pernikahan dalam Islam memiliki beberapa hukum tergantung pada situasi individu, mulai dari wajib hingga makruh. Ini menunjukkan bahwa keputusan untuk menikah atau menunda pernikahan sangat tergantung pada kesiapan seseorang secara fisik, mental, dan finansial.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun