Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Content Writer | SEO Content Writer

I am a learning person who enjoys sharing reviews about phenomena that occur in the universe. Hopefully what is shared will bring blessings to me and be useful for many people.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Standar FYP Ciptakan Multi Love Language, 1 Oktober Diperingati Sebagai 'My Girl Day'

1 Oktober 2024   08:57 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:19 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi love languange yang disetir standar fyp (Freepik) 

TikTok menjadi salah satu platform media sosial terkuat dalam membentuk gaya hidup dan cara berkomunikasi generasi muda, terutama dalam hal cinta dan hubungan. 

For You Page (FYP) yang terkenal di platform ini, kerap kali memperkenalkan tren yang tidak hanya bersifat viral, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan sosial dan emosional para penggunanya. 

Salah satu dampak yang paling menonjol adalah penciptaan standar baru dalam menunjukkan kasih sayang, atau yang dikenal sebagai love language (bahasa cinta). 

Di satu sisi, hal ini mungkin memperkaya cara orang berekspresi. Namun di sisi lain, tren ini menciptakan ekspektasi baru yang terkadang tidak realistis, bahkan membebani mereka yang berusaha menyesuaikan diri dengan standar tersebut.

1. Fenomena Hari My Girl (1 Oktober

Salah satu tren yang paling kuat dalam mengekspresikan cinta di TikTok adalah Hari My Girl, yang diangkat dari lagu We Fell in Love in October oleh Girl in Red. 

Setiap tanggal 1 Oktober, TikTok dipenuhi oleh konten yang mengekspresikan kasih sayang kepada pasangan perempuan, menjadikan hari tersebut sebagai ajang selebrasi cinta.

Namun, fenomena ini menimbulkan standar baru di mana cinta seakan-akan harus diekspresikan secara publik. Akibatnya, pengguna yang tidak merayakannya merasa terasing, tersisih, bahkan rendah diri. 

2. Fenomena Flexing Keromantisan

Flexing, atau pamer, telah menjadi bagian besar dari budaya media sosial, dan kini telah berkembang ke ranah keromantisan. Banyak pasangan yang memamerkan simbol ketulusan hingga momen-momen indah sebagai bentuk validasi hubungan. 

TikTok memainkan peran besar dalam memperkuat tren ini, terutama ketika konten tersebut viral dan dianggap sebagai standar keberhasilan dalam sebuah hubungan.

Namun, terkadang flexing keromantisan ini menciptakan ekspektasi tidak realistis tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam sebuah hubungan dan bagaimana mereka bersyukur berada dalam suatu hubungan. 

3. Normalisasi Penyimpangan Sosial

Dari maraknya flexing keromantisan, hal yang sering kali diwajarkan adalah penyimpangan dalam hubungan, yakni pasangan yang berinteraksi layaknya sudah resmi menikah, mengesampingkan nilai moral, sosial dan agama. 

Beragam konten yang secara terbuka berbicara tentang pengalaman  living together dan sex before marriage, baik itu secara eksplisit maupun implisit yang kemudian memicu diskusi berkepanjangan, terkadang tanpa sadar menormalisasi hal tersebut. 

Dalam hal ini, kebebasan berpendapat memberikan peluang bagi mereka yang memegang pendirian sex before marriage hanyalah sebuah prinsip subjektif dan dapat ditentang dengan perspektif lain. 

Aktivitas tidak sehat seperti itu, khawatir di kemudian hari, living together dan sex before marige justru semakin dianggap normal bahkan menjadi love languange generasi muda mendatang. 

4. Remake Tren Menjadi Konten Romantis

Banyak tren yang awalnya tidak terkait dengan cinta, seperti tantangan tarian atau konten komedi, sering kali diromantisasi oleh para pengguna TikTok. 

Tren-tren ini kemudian diubah menjadi ajang untuk menunjukkan kasih sayang kepada pasangan, yang semakin memperkuat posisi cinta dan hubungan sebagai elemen penting dalam konten TikTok.

Bagi sebagian orang, tren ini dianggap sebagai cara kreatif untuk mengekspresikan cinta, tetapi bagi yang lain, ini dapat menambah tekanan untuk selalu mempublikasikan hubungan mereka. 

Tren yang terus-menerus menampilkan sisi romantis dari sebuah hubungan, tanpa menampilkan realitas yang sebenarnya, dapat menciptakan ilusi tentang bagaimana sebuah hubungan seharusnya berjalan.

5. Dampak pada Remaja under Age

TikTok, dengan demografi pengguna yang didominasi oleh remaja, menghadirkan tantangan khusus bagi mereka yang belum cukup umur (under age). Karena tren romantis dan bahkan seksual dapat memengaruhi cara pandang remaja terhadap hubungan tanpa kedewasaan emosional. 

Ketidakdewasaan emosional ini dapat mengarahkan mereka pada pemahaman yang salah tentang peran dan standar hubungan. Oleh karena itu, edukasi yang tepat tentang hubungan yang sehat menjadi sangat penting bagi remaja. 

6. Pasar Konsumtif dan Doom Spending

Viralnya tren romantis di TikTok juga mendorong perilaku konsumtif. Banyak produk, seperti hadiah romantis, perhiasan, dan bunga, dipasarkan secara agresif kepada pengguna, yang sering kali merasa tertekan untuk membelinya demi mengikuti tren.

Fenomena ini dikenal sebagai doom spending, yaitu pengeluaran yang berlebihan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang dibentuk oleh media sosial.

Generasi muda, yang kebanyakan belum memiliki kestabilan finansial, menjadi korban utama dari fenomena ini. Mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak berkelanjutan, yang pada akhirnya bisa merusak kesejahteraan finansial mereka.

7. Standar Pasangan yang Terlalu Tinggi

Konten yang memperlihatkan momen-momen romantis sempurna, hadiah mahal, dan kejutan istimewa menciptakan standar yang tidak realistis tentang hubungan. 

TikTok memperkuat ilusi ini, seolah-olah sebuah hubungan harus selalu dipenuhi oleh kejutan besar dan momen tak terlupakan. Akibatnya, banyak pasangan merasa tidak puas dengan hubungan mereka jika tidak dapat memenuhi standar tersebut.

Ekspektasi yang terlalu tinggi ini tidak hanya membebani pasangan, tetapi juga merusak dinamika hubungan yang seharusnya didasarkan pada kejujuran, komunikasi, dan pemahaman bersama.

Lantas, Bagaimana Cara Menyikapi Tren FYP di TikTok?

Untuk mengatasi dampak negatif dari FYP ini, utamanya adalah dengan tidak berlebihan menggunakan sosial media, arahkan FYP ke konten yang lebih bermanfaat sehingga meminimalisir pengaruh negatif yang berpotensi merusak. 

Selain itu, diperlukan pendekatan yang tepat dari berbagai pihak, termasuk orang tua, agar terlibat aktif memahami tren dan melakukan pengawasan terhadap konten yang dikonsumsi anak. 

Selanjutnya, untuk remaja dan orang dewasa yang single, tidak perlu merasa tertekan untuk mengikuti tren romantis yang ada di TikTok. Fokus pada pengembangan diri, belajar mencintai diri sendiri, dan tetap realistis dalam melihat tren romantis di media sosial. 

Sementara untuk untuk yang berpasangan, komunikasi yang terbuka tentang love language adalah hal yang penting, namun sikap terlalu terbuka juga tidak baik. 

Tentunya, ciptakan standar mutu cinta sendiri tanpa membandingkan-bandingkan dengan yang lain, pertimbangakan juga efek jangka panjang dari segala hal yang dilakukan. (*) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun