Dapat terlihat bahwa poin dari Omnibus Law ini dianggap tidak pro dengan rakyat sipil sehingga memicu terjadinya aksi demonstrasi masyarakat. Tidak hanya demonstrasi, tetapi juga rakyat menolak pengesahan UU tersebut melalui tagar #mositidakpercaya kepada pemerintah dan DPR yang sempat menjadi trending di Twitter. Pergolakan buruh tersebut juga dinilai lebih berpihak pada perusahaan sebagai pemilik dari alat-alat produksi. Omnibus Law ini dianggap akan menciptakan kesenjangan kelas antara perusahaan dengan buruh. Perusahaan diberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan kelebihan jam yang dilakukan oleh pekerja.
Omnibus Law juga menyebabkan alienasi karena berusaha untuk menarik investor asing. Investor tersebut nantinya dapat memperoleh apa saja dan mengambil banyak peran dalam perekonomian. Sementara itu, buruh yang tidak berdaya dalam hal uang tidak akan berimbas banyak dalam kegiatan ekonomi karena buruh tidak berpotensi menghasilkan banyak uang. Kebijakan ini juga memicu eksploitasi kerja secara bebas karena penetapan upah didasarkan pada jam kerja, adanya peniadaan sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi hak pekerja, dan adanya sistem outsourcing. Pemerintah ingin mewujudkan perekonomian Indonesia yang maju, tetapi masyarakat merasa dirugikan dengan adanya UU tersebut. Meskipun banyak masyarakat yang menolak atau belum mengetahui isi UU tersebut, UU Ciptaker sudah disahkan dan harus dijalankan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Kemudian, bagaimana kualitas kebijakan UU Cipta Kerja apabila dianalisis dengan pendekatan efektivitas komunikasi menurut Maier? Sebelumnya, efektivitas pengambilan keputusan menurut Maier (2007:10) yaitu suatu keputusan dapat dinilai efektif atau tidak dengan berdasarkan pada penilaian penerimaan kemudian dibandingkan dengan kualitas keputusan itu sendiri. Kualitas pengambilan keputusan dilihat dari hal-hal yang bersifat teknis dan rasional seperti kesesuaian dengan pokok permasalahan yang hendak diselesaikan, kesesuaian dengan tujuan pengambilan keputusan, dan prosedur pengambilan keputusan. Sementara itu, aspek penerimaan dapat dilihat dari ada tidaknya dukungan dan kepatuhan terhadap keputusan yang diambil.
Kualitas dari pengambilan keputusan menurut pendekatan Maier ini terbagi menjadi tiga tipe. Apabila dilihat dari kualitas kebijakan dan penerimaan dari kebijakan UU Cipta Kerja, UU ini tergolong pada tipe pertama. Tipe pertama yaitu efektivitas pengambilan keputusan dicapai dengan kualitas pengambilan keputusan yang tinggi dan penerimaan yang rendah (A/Q). Dapat terlihat bahwa kualitas yang terkandung dalam kebijakan UU Cipta Kerja itu sudah baik dan bermanfaat bagi beberapa masyarakat. Akan tetapi, manfaat tersebut tidak secara merata dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat. Maka dari itu, penerimaan terhadap kebijakan tersebut tergolong rendah karena banyaknya masyarakat yang bersikap kontra terhadap kebijakannya. Menurut pendekatan Maier, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan tersebut belum efektif secara sempurna karena kurangnya penerimaan dari masyarakat terhadap kebijakan UU Cipta Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H