Istrinya terkenal cerewet dan agak galak dengan anak- anak nya. Sering sang istri memarahi anak perempuannya yang selalu keras kepala. Sang istri akan mengomel panjang lebar sambil mencubit anak perempuannya. Kemudian laki-laki itu akan datang dan menghampiri anak perempuannya.
„ Nduk cah ayu sana ke warung beliin bapak rokok , nanti sisanya buat jajan „.
Tentu saja anak perempuannya girang bukan kepalang. Keringlah air matanya seketika .
Laki-laki itu sering menasehati anak perempuannya,
„ Kamu mesti tahan uji nduk, apapun yang terjadi ingat ya nasehat bapak“.
Anak perempuannya yg masih kecil tahun 1977 hanya mengangguk- angguk kecapaian di dalam bus Semarang – Solo sambil berdiri terkena himpitan badan- badan orang dewasa disebelahnya. Ya waktu itu hari Lebaran.
Keluarga mereka pulang ke Solo tiap lebaran sehabis Shalat Ied di Simpang Lima untuk mengunjungi simbah kakungnya. Nasehat yang sangat makjleb bersarang sangat kokoh kukira sampai anak perempuannya dewasa nasehat itu tetap diingatnya dengan baik. Apa itu? TAHAN UJI.
Anak perempuannya heran tidak sekalipun dia mendengar laki-laki itu meneriaki istrinya yang cerewet, atau bertengkar. Tidak sama sekali. Pun sampai perempuan itu dewasa dan bertanya kepada adiknya apakah orang tua mereka pernah bertengkar. Jawabannya No! Tidak samasekali.
„Mereka tidak pernah bertengkar, jangankan bertengkar meninggikan suara satu sama lain pun tidak pernah terdengar!.
„Nduk jangan menikah dengan lain suku terutama suku bla...bla...bla karena bapak tertipu dengan mereka, uang dan rumah kita hilang karena mereka, menikahlah dengan orang se suku yang sama- sama tahu wataknya“.
Itu nasehat laki-laki itu lagi kepada anak perempuannya. Anak perempuannya menghormati nasehat bapaknya. 5 tahun kemudian dia datang membawa calon suaminya. Laki-laki itu tertawa terbahak- bahak dihadapan anak perempuannya dan calon menantunya.