Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyebab Divergensi Budaya Barat dan Timur dari Kacamata Teori Padi dan Gandum

8 November 2023   14:05 Diperbarui: 8 November 2023   14:11 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang Bekerja di Sawah. Foto oleh Vn Long Bi (www.pexels.com)

Di Indonesia, kita terbiasa saling bergotong royong dalam berbagai hal. Memang budaya saling tolong menolong ini mulai jarang kita lihat di kota-kota besar yang hidupnya lebih banyak di tempat kerja dan rumah-rumahnya memiliki pagar yang tinggi-tinggi. Tetapi setidaknya jika kita bepergian atau liburan ke daerah-daerah pedesaan yang masih asri dan jauh dari hiruk pikuk kota, kita akan melihat banyak orang yang masih saling bergotong-royong memanen padi di sawah, bapak-bapak saling bantu membangun pos ronda, atau setiap sabtu-minggu tetangga-tetangga sebelah rumah sibuk ikut membantu menyiapkan acara kawinan tetangga lainnya di ujung jalan.

Budaya-budaya gotong royong ini sempat menjadi sangat tersohor dan menjadi buah perbincangan bagi orang-orang luar negeri yang pernah datang ke Indonesia, khususnya turis-turis yang berasal dari benua belahan barat sana. Ya, di negara-negara benua barat seperti Amerika, Jerman, dan Kanada misalnya, mereka kagum akan kebersamaan yang mereka lihat dari orang-orang Indonesia yang mereka temui.

Tidak hanya Indonesia, sebenarnya, budaya bergotong royong masih bisa kita temui beberapa di negara-negara benua timur lainnya seperti China, Philipina, Malaysia, bahkan Jepang. Meskipun 'rasa' kebersamaan mereka tidak sekuat di Indonesia, tetapi kebiasaan bergotong-royong atau melakukan satu pekerjaan secara bersama-sama beramai-ramai itu adalah akibat dari masih adanya satu tumbuhan di negara-negara timur itu. Tanaman yang mampu mempersatukan banyak orang itu ialah padi.

Menurut penelitian yang dibuat oleh para ilmuwan gabungan baru-baru ini, menanam padi atau yang biasa oleh orang Jawa disebut nyawah (pergi ke sawah) adalah salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya tingkat kolektifitas masyarakat suatu daerah, terutama di daerah-daerah benua timur.

Di benua barat sana, sangat amat jarang orang-orang bule itu menanam padi. Pertanian padi masih tetap ada di barat sana, misalkan kita ambil contoh di benua Amerika, mereka punya beberapa pertanian padi di daerah Georgia, Carolina, Texas, Louisiana, dan California. Tetapi sebagaimana kita ketahui, makanan pokok orang-orang Amerika mayoritas adalah roti. Roti terbuat dari tepung gandum, yang mana membuat Anda akan kesulitan mencari padi tentunya di sana.

Lalu apa hubungannya perbedaan pola bercocok tanam dan makanan sehingga menciptakan divergensi budaya? Sekelompok ilmuwan dan psikolog yang berasal dari AS dan China dalam sebuah jurnal ilmiah baru-baru ini mengemukakan teori bahwa secara historis, masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian cenderung memiliki budaya kolektif. Sedangkan masyarakat yang mayoritas bertani gandum, sebaliknya, lebih invidualis.

Alasannya terletak pada perbedaan cara dan usaha yang dibutuhkan untuk memanen kedua tanaman panganan pokok ini. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, mengusahakan sebuah lahan persawahan yang begitu luas tidak mungkin membutuhkan hanya satu orang saja untuk bisa membuatnya berhasil.

Sebuah lahan sawah setidaknya membutuhkan jalur irigasi, alat bajak, belum lagi jika alat bajaknya masih yang tradisional seperti di beberapa desa di Indonesia kita masih membutuhkan hewan ternak untuk menariknya, memupuk tiap jengkal tanahnya, sampai memanen hasilnya kita membutuhkan banyak orang untuk setidaknya sawah tersebut berhasil dan bisa dinikmati hasilnya. Tidak mungkin mengerjakan sebuah sawah hanya seorang diri.

Lain cerita dengan petani-petani gandum. Bertani gandum tergolong cukup mudaah, apalagi jika cuaca dan suhu sekitarnya sedang 'bersahabat', kalaupun mereka butuh orang lain untuk membantu mereka, jumlahnya tidak akan sebanyak mereka yang menanam padi. Setidaknya begitulah tulis Thomas Talhelm, mahasiswa program Doktor jurusan Psikologi Budaya di University of Virginia yang memimpin penelitian mengenai teori perbedaan petani gandum dan padi ini.

Menariknya, masih menurut Talhelm, orang-orang tua yang dahulu bekerja di sawah tidak perlu mengajari anak-anak mereka untuk bercocok tanam padi untuk mengajarkan budaya kolektivitas ini. Anak-anak mereka konon akan menumbuhkan sendiri rasa kolektif ini di dalam diri mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun