Perkembangan zaman yang semakin canggih, membuat pemikiran tiap manusia ikut mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini tentu tidak lepas dari keinginan mereka yang tidak pernah puas, sehingga mereka terus mencari cara untuk melahirkan pemikiran baru agar kebutuhannya bisa terus terpenuhi. Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan, karena sifat manusia tadi yang tidak pernah merasa puas, mereka terus berfikir untuk melakukan pengembangan dan melakukan pengujian, agar temuan yang mereka lakukan, bisa mendapat hasil yang sempurna. Dari sinilah modernisasi muncul, dimana akibat pegembangan dan pengujian yang dilakukan secara terus menerus, kehidupan manusia pun jadi lebih maju dan berkualitas. Akan tetapi, munculnya modernism ini tidak selalu membawa hal positif bagi setiap individu. Karena faktanya, modernisme ini juga memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasinya. Seperti, adanya kekerasan dalam menyelesaikan masalah, penindasan oleh kaum yang kuat terhadap kaum yang lemah, hingga terjadinya ketimpangan sosial yang sangan parah terhadap seluruh lapisan masyarakat. Akibat hal tersebut, lahirlah Postmodernisme sebagai hal baru, yang mana Menurut (Maksum.2012:44-45) Postmodernisme ini digunakan untuk menolak dan memberikan kritikan-kritikan terhadap modernism, karena dinilai telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat setiap manusia. Postmodernisme juga banyak melahirkan pemikirannya, yang salah satunya adalah Culture Jamming
Menurut Stuart Ewen (dalam Widjaya. 2017) Cultural Jamming merupakan sebuah serangan pada kekuatan yang mendominasi public dimana dalam penerapannya, mereka menyerang kaum penguasa dengan gambar dan tanda yang memanipulai makna dan menyesatkan public. Dalam penerapannya, Cultural Jamming mengambil bentuk dari budaya popular yang kemudian dikemas menjadi sebuah pesan baru, dengan tujuan untuk mengkritisi budaya yang ada.
Dalam perkembangannya, Cultural jamming berubah menjadi sebuah entitas yang khas dimana pelaku dari istilah ini disebut dengan jammer. Saat ini culture jamming tidak hanya didapatkan dalam billboard namun di beberapa media massa juga sudah banyak yang menyajikan semacam Cultural jamming. Media baru seperti Instagram, Path, Facebook, Youtube, dan media-media lainnya banyak digunakan untuk melakukan kritik terhadap budaya populer, yang dinilai tidak sesuai dan bertentangan dalam nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Salah satu contoh dari Cultural Jamming yang pernah dilakukan masyarakat, ialah pensensoran yang dilakukan oleh LSF terhadap tayangan yang ditampilkan di Televisi. LSF sendiri merupakan Lembaga sensor film yang bertugas dan memiliki kebijakan untuk melakukan status edar film bioskop, acara-acara televisi, hingga iklan yang beredar diberbagai media. Suatu film atau acara televisi hanya bisa beredar, ketika film atau acara tersebut dinyatakan telah "lulus sensor" oleh LSF. Selain itu, LSF juga bertugas untuk memberikan perlindugan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh film dan iklan, yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan dari perfilman Indonesia, serta menganalisis hasil pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan tugas penyensoran berikutnya.
Dalam perkembangannya, Cultural Jamming berubah menjadi sebuah entitas yang khas dimana pelaku dari istilah ini disebut dengan 'Jammer'. Saat ini Culture Jamming tidak hanya didapatkan dalam billboard namun di beberapa media massa juga sudah banyak yang menyajikan semacam Cultural Jamming. Media baru seperti Instagram, Path, Facebook, Youtube, dan media-media lainnya banyak digunakan untuk melakukan kritik terhadap budaya populer, yang dinilai tidak sesuai dan bertentangan dalam nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Salah satu contoh dari Cultural Jamming yang pernah dilakukan masyarakat, ialah pensensoran yang dilakukan oleh LSF terhadap tayangan yang ditampilkan di Televisi. LSF sendiri merupakan Lembaga sensor film yang bertugas dan memiliki kebijakan untuk melakukan status edar film bioskop, acara-acara televisi, hingga iklan yang beredar diberbagai media. Suatu film atau acara televisi hanya bisa beredar, ketika film atau acara tersebut dinyatakan telah "lulus sensor" oleh LSF. Selain itu, LSF juga bertugas untuk memberikan perlindugan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh film dan iklan, yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan dari perfilman Indonesia, serta menganalisis hasil pemantauan yang dilakukan terhadap masyarakat, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan tugas penyensoran berikutnya.
Dalam meme diatas, kita bisa melihat bahwa culture jamming dari masyarakat Indonesia yang menuliskan " Sensor akan kian ketat karena Orang Indonesia mudah horny" menyindir pihak LSF yang bisa diartikan bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang mudah terangsang, sehingga pensensoran yang dilakukan terhadap seluruh program televisi kedepannya akan semakin ketat. Sindiran dalam bentuk meme tersebut dilakukan oleh masyarakat, karena mereka menilai bahwa lembaga sensor film terlalu berlebihan dalam melakukan sensor. Contohnya bisa kita lihat dalam gambar diatas, dimana LSF bahkan melakukan sensor terhadap angin puting beliung yang jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada unsur negatif yang ditimbulkan dari tayangan tersebut. Sehingga hal ini menjadi suatu kelucuan dikalangan masyarakat yang menontonnya, dan akhirnya membuat sebuah gerakan untuk menyinggung tayangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan. J dan Sudrajat.A. (2018). Pemikiran Postmodernisme dan pandangannya terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat. 28(1),h. 25-46
Widjaya. R. (2017). Media baru dan Masyarakat. Diakses dari tentangmediabaru.wordpress.com/category/culture-jamming/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H