Nama angkatan 66 dibentuk oleh H.B Jassin dalam majalah Horison edisi Agustus 1966 yang memiliki tema "Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi" nama-nama seperti Rendra, Bastari Asnin, Saribi Afn., Mansur Samin, Ajib Rosidi, Taufik Ismail, Djamil Suherman, Soewardi Idris, Hartoyo Adangdjaja, Bokor Hutta Suhhut, Goenawan Mohamad,Yusach Ananda, dan lainnya.
Angkatan 66 atau yang biasa juga disebut periode 66 merupakan periode dimana setiap partai pada saat itu mempunyai lembaga budaya. Contohnya seperti PKI dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di tahun 1950, PNI dengan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di tahun 1959 dan NU dengan Lesbumi.
Menurut Gunawan Mohammad, tahun 1960-an merupakan masa yang terus menjalani indoktrinasi mengenai ideologi dengan bahan pokok ajaran Bung Karno termasuk juga marxisme yang berlangsung hampir di tiap organisasi.  Pada 16 Maret 1962, Pramudya Ananta Toer, membentuk rubik kebudayaan di harian Bintang Timur dengan nama "Lentera". Tulisan Pramudya Ananta Toer bertujuan menunjukkan kesalahan  para sastrawan yang tidak mengikuti semboyan Lekra yaitu Politik sebagai Panglima. Mereka yang dikecam oleh Pramudya seperti B. Sularto, Alisjahbana, dan J.E. Tatengkeng.  Dengan judul "Teori dan Realitet" Pramudya menyebut cerpen B. Sularto sebagai reaksioner. Sementara itu, Alisjahbana karena memiliki paham pro-Barat dikecam dengan tulisan "Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun".
Menurut Rosidi, ada beberapa lembaga yang ingin menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku sastra misalnya seperti Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo). Terbitannya antara lain adalah Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, Malam Sunyi (1961) & Darah dan Peluh (1962) oleh Fridolin Ukur dan "Kidung 65 keramahan" (1963) oleh Soeparwata Wiraatmadja,
Terdapat juga sastra yang bertema keislaman seperti Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat oleh Djamil Suherman, Gema Lembah Cahaya (1964) oleh M. Saribi Afn, dan Manifestasi (1963) oleh delapan orang penyair Islam.
Menurut Satoto dalam bidang drama muncul juga tema-tema keagaaman. Hal ini merupakan reaksi atas dominasi dan tekanan dari satrawan Lekra. Contohnya adalah Junan Helmy Nasution dengan "Israk" (1959/1960), "Usman Ammar" (1960), "Bala" (1961), "Dewi Masyitoh" dan"Iman" (1962), "Timmadar" (1963). Bachrun Rangkuti dengan  "Landership", "Layla Majnun", "Asmara Dahana". Mohammad Diponegoro dengan "Iblis".
Dalam situasi seperti itu, juga muncul sajak perlawanan menentang Orde Lama yang kemudian diterbitkannya "Tirani" (1966) dan "Benteng" (1968) oleh Taufik Ismail. "Perlawanan" oleh Mansur Samin, "Mereka Telah Bangkit" oleh Bur Rasuanto. "Pembebasan" oleh Abdul Wahid Situmeang, Kebangkitan oleh lima penyair-mahasiswa. Di Medan terbit Ribeli 1966 oleh Aldian ripin, Djohan A. Nasution, dan Z. Pangaduan Lubis.
Pada tanggal 17 Agustus tahun 1963, dikeluarkanlah pernyataan kebudayaan yang disebut Manifes Kebudayaan 66. Manifes Kebudayaan ini ditandatangai oleh 20 nama yang terdiri dari 16 penulis, 3 pelukis, dan 1 komponis.
Secara rinci nama-nama itu antara lain :
- H.B. Jassiin
- Taufik Ismail
- Zaini
- Bokor Hutasuhut
- Soe Hok Djin
- Goenawan Mohammad
- Trisno Sumardjo
- A. Bastari Asnin
- Gerson Poyk
- Bur Rasuanto
- D.s. Moeljanto
- Ras Siregar
- Hartojo Andangdjaya
- Syahwil
- Jufri Tanissan
- Binsar Sitompul
- M. Saribi Afn
- Wiratmo Soekito
- Poernawan Condronagoro
- Boes S. Oemaryati.
Manifes Kebudayaan itu diumumkan kepada publik pertama kalinya dalam surat kabar Berita Republik dalam ruang Forum" Sastra dan Budaya No.1 Th I tanggal 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III 1963. Pendirian Manifes Kebudayaan: Pancasila adalah falsafah kebudayaan. Selain Itu Manifes Kebudayaan juga menyebut bahwa falsafah demokrasi Pancasila menolak tujuan menghalalkan cara.
Pertengahan tahun 1965 Departemen P&K mengumumkan pelarangan karya dari orang-orang yang selama ini ditentang oleh Lekra khususnya "Lentera", yaitu: Hamka, S. Takdir Alisjahbana, Idrus, Trisno Sumardjo, Mochtar Lubis, H.V Jassin dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Mulai saat itu para penulis Manikebu mulai menggunakan nama samaran bahkan untuk sajak tentangalam.
Karena adanya protes sosial dan politik menyebabkan H.B. Jassin memproklamirkan lahirnya 'Angkatan 66' di Horison (1966). Oleh Rachmat Djoko Pradoppo hal itu disambut dengan angkatan 66 sastra Indonesia baru suatu kemungkinan' (dalam Horison 1967). Sedangkan Satyagraha Hoerip S. (Horison 1966) dan Arif Budiman (Pelopor Baru 1967) lebih menyukai nama 'Angkatan Manifes Kebudayaan'.
Peristiwa penting lainnya yaitu muncul drama mini kata oleh Rendra. Judulnya "Tjaaat-tjaat", "Rambate Rate Rata", "Bib-Bob", "Di Manakah Engkau Saudaraku". Istilah mini kata itu oleh Arifin C. Noer disebut "teater primitif". Dami N Toda menyebutnya sebagai "teater Puisi". Gunawan Mohammad menyebutnya "Improvisisasi".
Referensi :
Drs. Harjito, M.Hum , POTRET SASTRA INDONESIA. 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H