Hai, nama aku Dhita. Aku kelas SMA 1, SMA Tunas Harapan. Bukan sekolah baru, dari SD aku sudah sekolah di sana. Kata orang, SMA itu masa yang tak akan terlupakan. Mungkin benar, aku menonton begitu banyak film yang menceritakan bahwa masa-masa SMA sangat seru, masa dimana kita menemukan jati diri sendiri, melakukan hal-hal yang gila bersama teman, kepoin gebetan, dan banyak lagi. Aku penasaran bagaimana hari-hari di SMA-ku terjadi.
Hari pertama sekolah akhirnya datang juga. Aku semangat pergi ke sekolah karena penasaran aku bakal sekelas dengan siapa. Aku harap, aku sekelas dengan sahabat-sahabatku dari SMP. Mereka adalah Reva dan Sally, sahabatku sejak SD. Mereka adalah orang yang aku paling percaya. Saat aku lihat daftar kelasnya, aku kecewa, Reva dan Sally satu kelas, aku tidak. Di kelas aku, tidak ada teman yang terlalu dekat dengan aku. Hari-hari pun aku lewati, ternyata aku bisa beradaptasi di kelasku ini. Aku belajar banyak bagaimana untuk bersosialisasi. Tidak terasa, bentar lagi kita akan masuk penjurusan, IPA atau IPS.
Memang nilai SMP-ku tidak terlalu memuaskan, nilaiku biasa-biasa saja. Tapi kalau nilai IPA, tidak usah ditanyakan lagi, nilai tryout IPA-ku tidak ada yang lulus, tetapi untungnya saat UN lulus KKM. Kata orang, lebih baik memilih jurusan IPA, karena nanti saat kuliah bisa masuk ke semua jurusan, sedangkan IPS tidak. Aku pun berpikir sepertinya harus masuk IPA. Tetapi nilai pelajaran IPA-ku sebelum penjurusan saja sudah jelek, seperti hutan yang terbakar.
Aku pun berpikir lagi, sepertinya aku harus tahu nanti saat kuliah mau ambil jurusan apa. Yang pasti, cita-cita ku bukan menjadi dokter, ilmuwan, arsitektur, dll. Jurusan kuliah yang menarik perhatianku adalah bisnis dan psikologi. Aku pun mencari di internet, untuk masuk psikologi harus ambil jurusan IPA atau IPS. Sebagian web mengatakan bahwa IPA dan IPS semuanya bisa masuk jurusan psikologi, tetapi ada juga beberapa web yang mengatakan hanya anak IPA.
Untungnya, orang tua ku bukan seperti orang tua temanku yang lain, ada orang tua yang memaksakan anaknya untuk masuk IPA. Orang tua ku hanya berpesan, "Terserah kamu mau pilih IPA atau IPS, yang penting kamu suka, mami papi akan selalu mendukung kamu", aku sangat bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka.Â
Akhirnya, hari untuk mengumpulkan surat pemilihan jurusan datang. Aku memutuskan untuk masuk IPS. Menurutku, sudah jelas aku masuk IPS, bukan karena nilai ku jelek, atau kurang pintar, itulah pandangan orang lain terhadap anak IPS. Aku masuk IPS karena pelajaran di IPS lebih menarik daripada IPA, seperti akuntansi yang akan sangat berguna untuk masa depan, dan sosiologi yang belajar tentang perilaku manusia. Kedua sahabatku, Reva dan Sally juga memutuskan untuk masuk IPS, berarti semakin besar kemungkinan kami untuk sekelas.
Saat daftar kelas setelah penjurusan dibagikan, aku semakin kecewa. Reva dan Sally satu kelas lagi, sedangkan aku tidak. Aku tidak sedih sampai nangis, karena aku percaya semua hal yang terjadi pasti ada maksud baik. Untungnya, di kelasku ada teman yang lumayan dekat dengan ku dari SMP. Hari demi hari kulewati, berusaha beradaptasi dengan kelas yang baru. Di SMA ini, aku belajar banyak walaupun susah, seperti mengerjakan banyak tugas dan mengumpulkannya dengan tepat waktu, dan juga kepercayaan diri ku meningkat dengan adanya banyak presentasi.Â
Bulan September pun datang, dan tadi beberapa kakak kelas datang ke kelas, mengumumkan bahwa mereka membuka rekrutmen untuk anggota OSIS yang baru. Aku pun tertarik. Aku pun bertanya kepada Reva dan Sally apakah mereka juga ingin bergabung. Dalam waktu istirahat, aku pun datang ke kelas mereka. "Eh Reva, ikut OSIS yuk!", kata aku. "Hmm ayok weh, tapi takut nih bakal keterima gak yah?", kata Reva. "Keterima lah! Coba yuk", kata aku, dan aku hampir lupa menanyakan ke Sally juga, "Eh Sally, gimana lu? Yok coba bareng juga!".
"Enggak ah, ga tertarik gue, males weh OSIS banyak kerjaan," kata Sally. Setelah dipikir, memang betul yang dikatakan Sally. Akhirnya hanya aku dan Reva yang mencoba mendaftarkan diri. Hari ini adalah hari terakhir mengumpulkan CV dan surat aplikasi yang kita buat. Aku dan Reva pun jalan bersama ke ruang pembina OSIS dan mengumpulkan dokumen-dokumen kami. Hati kami tidak lega setelah mengumpulkan CV, kami malahan gugup apakah akan diterima, jika diterima maka akan ada wawancara lagi.
Seminggu kemudian, daftar wawancara pun dikirim, aku tidak melihat namaku, tetapi ada nama Reva tertulis disana. Jujur, aku tidak kecewa kalau tidak diterima, karena artinya aku belum mampu melakukannya atau bukan waktu yang tepat bergabung dengan OSIS. Aku pun dengan senang menyemangati dan membantu Reva dalam persiapan wawancaranya.Â
Seminggu kemudian, tiba-tiba ada email yang masuk di handphoneku, ternyata isinya adalah daftar wawancara OSIS gelombang kedua. Aku kaget sekali, karena aku kira wawancaranya hanya diadakan sekali. Aku pun dengan gugup membuka isi email tersebut, dan puji Tuhan, ada nama ku di daftar tersebut! Tetapi yang bikin aku kaget adalah... waktu wawancaranya besok siang setelah sekolah!
Sedangkan daftarnya baru dikirim sekarang. Aku pun langsung melupakan tentang ulangan besok, aku langsung menyiapkan presentasiku untuk wawancara besok. Aku pun tidak bisa tidur malam itu, karena terlalu gugup. Aku merenung, aku tidak punya pengalaman dalam berorganisasi, dan aku orangnya biasa-biasa saja, tidak seperti mereka lain yang akan wawancara juga, yang sering berorganisasi dan percaya diri. Aku pun hanya bisa berdoa kepada Tuhan, jika ini memang rencana-Nya, aku pasti bisa.
Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah dengan semangat, dan tidak lupa meminta restu dari kedua orang tua. Tanpa disadari, waktu sangat cepat berlalu, sudah jam pulang sekolah. Aku pun langsung menunggu didepan ruang wawancara. Aku menunggu sangat lama, semakin gugup, karena ada seseorang yang keluar dari ruangan itu menangis. Lalu, namaku dipanggil, di ruangan tersebut ada kakak kelas 12 dan pembina OSIS. Hatiku berdetak-detak dengan sangat kencang.
Aku pun memulai presentasiku. Setelah itu, saatnya aku di tanya-tanya. Aku orangnya mudah untuk menyembunyikan kegugupanku agar orang lain tidak dapat melihatnya. Lama-lama saat ditanyakan, aku mulai merasa santai dan menjawab apa adanya. Lalu selesai juga wawancaraku ini.Â
Beberapa minggu kemudian, aku harus pergi ke Palembang, karena ada sepupuku yang menikah. Terpaksa, aku harus tidak masuk ke sekolah. Pada senin pagi, ada temanku yang mengirimiku pesan, berisi "CONGRATS YAAAA DHITAAAA, KAMU MASUK OSIS", aku pun langsung kaget dan tidak percaya apa yang dikatakannya.
Ternyata di sekolah tadi diumumkan siapa yang diterima. Aku pun sangat senang dan masih tidak percaya. Hari demi hari kulewati, ternyata masuk OSIS tidak gampang juga pekerjaannya. Rata-rata anggota OSIS yang kelas 10 adalah satu geng, jadi aku harus mulai bersosialisasi dengan mereka. Oh ya, aku lupa kasih tahu, Reva tidak jadi masuk OSIS, karena disaat wawancara ia terlalu takut sehingga mengundurkan diri, sayang banget sih.Â
Begitulah hari-hari kelas 10 di SMA-ku ini, memang tidak begitu menarik, tapi menurutku, yang terpenting adalah bagaimana aku belajar untuk menghadapi semua tantangan yang ada, masalah cinta, nanti saja. Dan yang pasti, dalam kelas 10 ini, aku menemukan jati diriku yang sebenarnya, mengetahui apa yang kuminati, dan cara untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H