”Baik, Bu. Silahkan Ibu memilih dan melihat-lihat dulu.” katanya tenang sambil berjalan menuju ke tempat kasir dekat pintu.
Aku pun kembali menekuni beberapa majalah itu. Dan seperti tersihir, aku kembali tenggelam dengan materi bacaan yang berbeda dengan yang pernah aku baca. Aku pun memutuskan untuk membeli beberapa majalah dan membayar sambil mengucapkan terima kasih kepada si bapak penjaga toko.
Aku pun tak sabar ingin sampai di rumah menikmati majalah-majalah baruku ini. Sampai rumah, tas-tas berisi belanjaan dari pusat perbelanjaan tadi tak kugubris. Aku biarkan si supir dan si mbok, pembantu rumah tanggaku yang menanganinya. Aku hanya ingin cepat mandi dan bersantai di sofa favoritku membaca majalah-majalah baruku tadi.
Badanku sudah terasa segar. Sabun aroma terapi dengan harum bunga melati sudah menyegarkan pikiranku. Aku pun beranjak ke atas sofa favoritku dan meraih semua majalah-majalah yang baru kubeli. Aku membuka majalah pertama. Majalah Perempuan namanya. Aku membaca halaman demi halaman. Aku melihat artikel-artikel yang mengangkat sejumlah perempuan yang berjuang untuk hidup. Ada yang ditinggal oleh suaminya dan harus menghidupi lima orang anak dengan menjadi buruh tani. Ada yang harus meninggalkan keluarganya dan merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah. Ada juga yang sudah berusia renta dan masih mencari batu setiap harinya di sungai dekat rumahnya. Hm... cerita-cerita yang amat berbeda dari yang selalu aku baca selama ini. Aku terhenyak sejenak, merenungi bahwa rupanya ada orang-orang yang perlu sangat berjuang dalam hidupnya.
Lalu, artikel lainnya yang paling menarik minatku adalah artikel yang membahas mengenai sisi positif dari suami yang perlu disyukuri para istri. Artikel itu menyebutkan bahwa suami yang baik akan selalu ada pada masa-masa yang sulit sekalipun. Suami yang baik juga tidak segan berbagai tugas rumah tangga dan bahkan mengurus anak ketika istri sedang melakukan tugas lainnya. Suami yang baik selalu berusaha menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarganya. Suami yang baik adalah suami yang selalu bekerja keras dan memegang komitmen kesetiaannya. Suami yang baik adalah suami yang tak pernah mengekang perkembangan pribadi sang istri.
Aku langsung menutup mataku. Berkelebatlah gambaran Dion yang selalu ada di sisiku, baik ketika aku sangat sedih ketika Ibuku meninggal maupun ketika aku sangat bangga menerima penghargaan sebagai karyawan terbaik di kantorku. Terbayang juga bagaimana bahagianya kami ketika Dian, permata hati kami lahir dalam kondisi sempurna. Bagaimana sabarnya Dion menunggui aku menyusui Dian pada malam-malam bulan pertama aku menjadi Ibu. Tak lupa gambaran lain, ketika Dion bersedia mengasuh Dian setiap malam sementara aku dinas keluar kota. Dion juga tak pernah absen mengajak aku dan Dian berekreasi ke tempat yang menyenangkan ketika akhir pekan. Ia pun tak lupa mengutamakan kegiatan peribadatan bersama meski artinya harus membatalkan janji dengan rekan bisnis. Ah, Dion... ia selalu bekerja keras di kantor dan menabung untuk pendidikan Dian. Dia tak pernah melarangku untuk meraih semua kesempatan yang ada untuk mengembangkan karierku sehingga aku berada di posisiku yang sekarang ini...
Ternyata, Dion adalah suami yang baik.
Aku meraih majalah lain di meja. Nama majalahnya Blessing. Aku membuka halaman demi halaman. Di dalamnya, aku menemukan artikel tentang seorang Ibu yang setia mendampingi suami yang berprofesi sebagai nelayan dan selalu mengucap syukur akan semua berkah yang diberikan Sang Kuasa kepada keluarga mereka. Rupiah demi rupiah ditabung sehingga dua anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Di artikel lain, seorang ahli menjabarkan, hidup kita tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Agar hidup terasa lebih bermakna, mulailah menghitung hal-hal positif yang kita miliki. Jangan terpaku pada kondisi yang kita tidak punyai. Cobalah melihat dan mensyukuri hal-hal baik yang terjadi dalam hidup kita. Deg! Kata-kata si ahli menusuk hatiku. Ternyata selama ini aku terlalu fokus pada apa yang dikatakan oleh majalah-majalah pedomanku itu, bahwa suamiku kurang ini kurang itu. Namun aku tak menyadari dan mensyukuri bahwa suamiku adalah seorang pribadi yang baik. Otakku sudah tercuci oleh semua propaganda bahwa suami yang baik haruslah romantis, haruslah menyanjungku dan sebagainya. Mata hatiku tertutup, bahwa Dion adalah suami yang mengagumkan. Mau berbelanja sepulang kantor sementara para suami lainnya sudah nyaman duduk santai di depan televisi. Mau mengeloni Dian, sementara aku sibuk dengan tugas mengetikku di depan komputer. Mau membatalkan pertemuan bisnis di akhir pekan karena aku dan Dian ingin sekali mengikuti outbond dengan rekan-rekan kantorku. Ah, entah berapa kali ia memperlihatkan cintanya yang nyata kepadaku tanpa aku mensyukurinya dan membalasnya dengan tulus.
Ternyata selama ini, tanpa aku sadari, aku sudah menjadi perempuan yang paling bahagia sedunia.
Dengan kesadaran yang baru, akupun bangkit dari sofaku. Dan mengambil majalah-majalah baru yang mencerahkan itu. Aku simpan majalah-majalah itu dengan rapi di rak buku. Lalu aku memanggil si Mbok. Aku memintanya menjual semua majalah-majalah lamaku ke tukang loak. Uang hasil loakannya aku berikan kepada si Mbok. Teriring rasa terima kasih dan tatapan heran, si Mbok pun melaksanakan perintahku. Ia heran melihat perubahan sikapku yang merelakan semua majalah-majalah, (bekas) ’injilku’ itu kepada tukang loak. Apalagi memberikan uang loakannya kepadanya, karena selama ini aku terkenal sangat perhitungan dengan setiap sen uang yang aku miliki.
Aku masih pecandu. Bukan, bukan pecandu majalah lagi. Bukan pecandu gambaran suami ideal yang palsu. Tapi pecandu hidup, pecandu tawa positif dan rasa syukur atas semua yang aku alami. Aku akan memulai hidup baru.