Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai generasi yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial. Di Indonesia, negara dengan keragaman agama, ras, dan suku budaya yang sangat tinggi, pengaruh digital tidak hanya mempengaruhi cara komunikasi dan interaksi sosial tetapi juga menciptakan tantangan baru dalam hal toleransi dan inklusi. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana generasi Z di Indonesia menunjukkan kecenderungan rasis yang lebih besar dalam konteks agama, ras, dan suku budaya, berdasarkan data dan tren yang ada.
Data dan Tren Rasisme di Era Digital
- Peningkatan Kasus Diskriminasi dan Intoleransi di Media Sosial
Data dari berbagai lembaga riset menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam kasus-kasus diskriminasi dan ujaran kebencian di platform media sosial yang melibatkan Gen Z di Indonesia. Menurut laporan yang dirilis oleh Kominfo dan beberapa lembaga riset sosial, terdapat lonjakan dalam jumlah konten negatif yang menyasar kelompok agama dan etnis tertentu. Misalnya, laporan dari Pew Research Center menunjukkan bahwa hampir 30% dari pengguna media sosial di Indonesia pernah menyaksikan atau terlibat dalam diskusi yang berisi kebencian terhadap kelompok agama minoritas.
- Tingkat Kesadaran dan Pengetahuan Tentang Keragaman Budaya
Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya di Indonesia menemukan bahwa meskipun Gen Z memiliki akses yang lebih besar ke informasi mengenai keragaman budaya dan agama melalui internet, mereka cenderung lebih terpapar pada konten yang memperkuat stereotip dan prasangka. Data menunjukkan bahwa sekitar 45% dari responden Gen Z mengaku pernah terlibat dalam diskusi online yang mengekspresikan sentimen negatif terhadap kelompok suku atau agama tertentu.
- Peran Algoritma Media Sosial dalam Memperkuat Polarisasi
Penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa algoritma media sosial seringkali memperkuat polarisasi dengan merekomendasikan konten yang sesuai dengan pandangan pengguna. Ini menyebabkan efek penguatan yang membuat individu cenderung terlibat dalam lingkungan yang homogen dan kurang beragam. Hal ini juga berkontribusi pada meningkatnya eksposur terhadap konten ekstrem dan rasis, yang mempengaruhi pandangan Gen Z tentang kelompok lain.
Mengapa Gen Z Rentan terhadap Rasisme di Era Digital?
Beberapa faktor berikut ini adalah yang mempengaruhi mengapa gen z rentan terhadap rasisme di era digital:
- Filter Bubble dan Echo Chamber
Fenomena filter bubble dan echo chamber di media sosial memperburuk masalah dengan mengisolasi individu dari pandangan yang berbeda dan memperkuat pandangan yang sudah ada. Gen Z, yang sering kali tidak memiliki pengalaman langsung atau interaksi tatap muka dengan kelompok yang berbeda, lebih mungkin untuk terjebak dalam pola pikir yang eksklusif dan prejudis.
- Kurangnya Pendidikan dan Kesadaran
Meskipun akses informasi sangat luas, pendidikan mengenai toleransi dan keragaman sering kali tidak memadai. Banyak generasi muda yang belum mendapatkan pendidikan yang cukup tentang pentingnya inklusi dan hak-hak minoritas. Ini diperburuk oleh kurangnya kontrol dan moderasi di platform media sosial.
- Keterlibatan dalam Konten Kontroversial
Keinginan untuk mendapatkan perhatian dan menjadi viral sering mendorong pengguna, termasuk Gen Z, untuk terlibat dalam konten kontroversial dan provokatif. Konten yang mengandung unsur rasisme dan diskriminasi sering kali mendapatkan lebih banyak interaksi dan perhatian, memperburuk penyebaran pandangan ekstrem.
Â
Era digital menawarkan berbagai manfaat, tetapi juga menghadirkan tantangan besar dalam hal toleransi dan pemahaman antarbudaya. Data menunjukkan bahwa Gen Z di Indonesia, meskipun terpapar pada informasi yang lebih banyak, cenderung menunjukkan kecenderungan rasis yang lebih besar terkait dengan agama, ras, dan suku budaya. Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi semua pihak---baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat---untuk bekerja sama dalam meningkatkan pendidikan tentang keragaman dan mempromosikan dialog yang inklusif di dunia maya. Upaya untuk memahami dan mengatasi fenomena ini akan menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan harmonis di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H