Mohon tunggu...
Girly Yunika Dayanti
Girly Yunika Dayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mulawarman

Menyukai topik tentang politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan Jangan Jadi Gubernur? Mengusut Diskriminasi Gender di Balik Pernyataan Dimyati

16 November 2024   20:41 Diperbarui: 17 November 2024   06:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu tentang kepemimpinan perempuan di Indonesia hingga saat ini masih sering diragukan oleh berbagai pihak. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan atau kompetensi yang dimiliki perempuan, tetapi karena adanya stigma serta stereotip gender yang sudah lama tertanam di dalam diri masyarakat. Banyak pandangan yang menganggap bahwa posisi pemimpin, terutama pemimpin dalam konteks politik dan pemerintahan merupakan ranah laki-laki. Pemikiran semacam ini menjadi penghalang bagi perempuan untuk dapat berkontribusi dalam sektor publik.

Tangkapan layar Youtube KPU Provinsi Banten
Tangkapan layar Youtube KPU Provinsi Banten

Hal tersebut terpampang jelas dalam debat Pilkada Banten pada 16 Oktober 2024, ketika salah satu kandidat, Dimyati, mengungkapkan pandangannya terkait kepemimpinan yang dilakukan oleh perempuan. Ia mengatakan, "Oleh sebab itu, wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur. Itu berat lho, luar biasa, maka oleh sebab itu laki-laki lah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.” Pernyataan ini jelas merujuk kepada seksisme, yakni diskriminasi berbasis gender yang memandang perempuan lebih lemah dan kurang mampu dibandingkan dengan laki-laki. Dimyati secara tersirat menganggap bahwa tugas berat seperti menjadi gubernur bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh perempuan.

Tangkapan layar Youtube KPU Provinsi Banten
Tangkapan layar Youtube KPU Provinsi Banten

Dalam pernyataannya tersebut, Dimyati berbicara seolah bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Seakan perempuan lemah serta tidak bisa memegang beban berat seperti gubernur. 

FOTO/iStockphoto
FOTO/iStockphoto

Sayangnya, seksisme dalam politik di Indonesia bukanlah fenomena baru. Diskriminasi gender yang dihadapi perempuan sudah seringkali muncul bahkan dalam berbagai bentuk, mulai dari pernyataan merendahkan, kampanye negatif, hingga penghalangan pencalonan perempuan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa perempuan kerap kali dipandang sebelah mata.

Padahal banyak data menunjukkan bahwa banyak perempuan yang sukses memimpin dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pemerintahan. Contohnya, Tri Rismaharini ketika menjadi Wali Kota Surabaya. Beliau berhasil membawa banyak perubahan positif dalam aspek pembangunan kota serta pelayanan publik. Begitu juga Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur, yang telah menciptakan berbagai kebijakan yang inovatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepemimpinan mereka menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memikul tanggung jawab besar, bahkan berhasil menjalankannya dengan baik.

Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender dalam kepemimpinan sangat penting karena memungkinkan seluruh potensi masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ketika perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memimpin, mereka dapat membawa perspektif yang berbeda dan pengalaman unik yang memperkaya proses pengambilan keputusan.

Foto: https://plainmovement.id
Foto: https://plainmovement.id

Selain itu, kesetaraan gender juga menjadi salah satu indikator penting dalam mencapai keadilan sosial, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dan diperlakukan setara, tanpa memandang jenis kelamin. Ini bukan hanya soal memenuhi kuota atau standar, tetapi soal memperjuangkan hak asasi dan menciptakan sistem yang adil, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas demokrasi dan pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Kesetaraan gender dalam aspek kepemimpinan juga tidak hanya tentang memberikan peluang yang setara bagi perempuan, tetapi juga dengan mengoptimalisasi potensi bangsa secara menyeluruh. Kepemimpinan yang menyeluruh juga akan menghasilkan keputusan yang lebih beragam dan mencerminkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, jadi tidak hanya didominasi oleh satu kelompok saja.

Foto : iStock/Aquir
Foto : iStock/Aquir

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menantang pandangan stereotip seperti yang diutarakan oleh Dimyati. Indonesia memerlukan lebih banyak perempuan di posisi kepemimpinan, baik di pemerintahan, perusahaan, maupun organisasi masyarakat, untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun