Isu tentang kepemimpinan perempuan di Indonesia hingga saat ini masih sering diragukan oleh berbagai pihak. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan atau kompetensi yang dimiliki perempuan, tetapi karena adanya stigma serta stereotip gender yang sudah lama tertanam di dalam diri masyarakat. Banyak pandangan yang menganggap bahwa posisi pemimpin, terutama pemimpin dalam konteks politik dan pemerintahan merupakan ranah laki-laki. Pemikiran semacam ini menjadi penghalang bagi perempuan untuk dapat berkontribusi dalam sektor publik.
Hal tersebut terpampang jelas dalam debat Pilkada Banten pada 16 Oktober 2024, ketika salah satu kandidat, Dimyati, mengungkapkan pandangannya terkait kepemimpinan yang dilakukan oleh perempuan. Ia mengatakan, "Oleh sebab itu, wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur. Itu berat lho, luar biasa, maka oleh sebab itu laki-laki lah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.” Pernyataan ini jelas merujuk kepada seksisme, yakni diskriminasi berbasis gender yang memandang perempuan lebih lemah dan kurang mampu dibandingkan dengan laki-laki. Dimyati secara tersirat menganggap bahwa tugas berat seperti menjadi gubernur bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh perempuan.
Dalam pernyataannya tersebut, Dimyati berbicara seolah bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Seakan perempuan lemah serta tidak bisa memegang beban berat seperti gubernur.
Sayangnya, seksisme dalam politik di Indonesia bukanlah fenomena baru. Diskriminasi gender yang dihadapi perempuan sudah seringkali muncul bahkan dalam berbagai bentuk, mulai dari pernyataan merendahkan, kampanye negatif, hingga penghalangan pencalonan perempuan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa perempuan kerap kali dipandang sebelah mata.
Padahal banyak data menunjukkan bahwa banyak perempuan yang sukses memimpin dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pemerintahan. Contohnya, Tri Rismaharini ketika menjadi Wali Kota Surabaya. Beliau berhasil membawa banyak perubahan positif dalam aspek pembangunan kota serta pelayanan publik. Begitu juga Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur, yang telah menciptakan berbagai kebijakan yang inovatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepemimpinan mereka menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memikul tanggung jawab besar, bahkan berhasil menjalankannya dengan baik.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender dalam kepemimpinan sangat penting karena memungkinkan seluruh potensi masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ketika perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memimpin, mereka dapat membawa perspektif yang berbeda dan pengalaman unik yang memperkaya proses pengambilan keputusan.