Siapa yang tidak mengacungkan jempol jika menyebutkan keindahan Flores, wilayah kepulauan yang berbentuk bunga, sehingga membuat bangsa Portugis member nama negeri ini Flores mungkin plestan dari ‘flower’ atau ‘florist’ atau apapun kata ‘bunga’ dalam bahasa Portugis. Bentang alam, menyuguhkan keindahan yang tiada tara di negeri ini, adat-istiadat, seni, budaya, makanan, minuman dan masyarakatnya membuat saya jatuh cinta pada daratan Flores, dari Labuan Bajo hingga Pulau Adonara kurang lebih sepanajang 1300 km. Setelah melalaui dua hari riding melewati daratan NTB (Lombok dan Sumbawa), kami tiba di Labuan Bajo Flores petang hari. Suasana sore dengan sorot “sun set” indah Labuan Bajo menambah hangat suasana Labuan Bajo hari itu, saat itu pula banyak wisatawan mancanegara yang berkeliling mencari penginapan layaknya yang kami lakukan. Setelah mendapatkan penginapan, segera kami memarkir tunggangan plastik dan memasukkan semua logistik dan menikamati suasana pertama di Labuan Bajo. Abang, mungkin itu inisial yang Saya ingat. Wajah tipikal Manggarai yang tegap, berotot dengan aksen timur khas Flores mulai membuka pembicaraan duduk melingkar bersama kami. “Sapa yang mau iko dengan Saya kita bli minum-minum dulu” begitu ujarnya. Segera dua kawan kami meluncur bersama Abang membeli moke, “milo” àla Flores. Tak lama lima belas menit kemudian semua sudah berkumpul di lobby penginapan yang tak lebih seperti warkop. Hangat sambutan di ujung barat Flores ini mengesankan, saat yang tepat pula untuk mendapatkan informasi sedikit-demi sedikit tentang Flores. Mulai dari wisata, kuliner, perjalanan, karakter dan lain sebagainya. Hingga malam yang semakin sepi tak terasa kami lalui bersama. Ditutup dengan gelas-gelas terakhir hingga semua beranjak menuju kamar.
Keesokan harinya ketika semuanya sudah terjaga, menyiapkan logistik, sarapan dan melanjutkan perjalanan menuju Bajawa. Dan truly “Selamat datang di Flores!” maksudnya, selamat datang dan menjajal track tour lintas Flores yang menantang. Gambar di atas ini adalah korban pertama tanjakan “Opik’, begitu kami menyebut TKP, berupa shock therapy pada tikungan tajam dan menanjak pertama yang akibatnya kayu penyanggah bagasi patah. Kondisi jalan yang mulus namun menanjak, menikung tajam dan posisi jalan yang miring adalah perkenalan kami dengan track Flores di lintas Kecamatan Sanonggoan – kecamatan Mbeliling itu. Mungkin adalah daya tari dan tantangan sendiri bagi bikers, maklum kami bukan bikers, hanya surveyor yang belum digaji :( . Di daerah lintas Sanonggoan – Mbeliling ini memiliki potensi wisata air terjun Cunca Rami dan Cunca Wulang, wisata Danau dan Gua. Ditambah lagi suguhan kopi Flores Manggarai Barat yang tersohor dan memiliki cita rasa tinggi. Kondisi alam yang alami, sangat terasa ketika jalan yang kami lalui mulai menanjak, udara segar dan sejuk serta tiupan angin dari pepohonan di atas bukit yang lebat dengan vegetasi bervariasi menembus helm yang kami gunakan. Saat kami melintas, tepat jam pulang sekolah siswa-siswi SD sehingga gerombolan bocak-bocak lucu melambaikan tangan kepada kami yang melintas seperti pedagang lintas daerah.
Jika ingin merenggangkan badan, beristirahat sejenak maka berhentilah di warung-warung semi permanen sepanjang jalan. Kita bisa memesan kopi Flores, bisa ditemani pisang atau jajanan lainya yang tersedia di warung-warung. Jangan heran tak hanya orang lokal yang berhenti di warung-warung tersebut, Anda bisa menemukan wisatawan asing yang sesngaja berhenti untuk beristirahat atau hanya sekedar mengabadikan momen disekitar warung atau perbukitan. Jangan lewatkan berbincang dengan “akamsa” anak kampung sana, tanyakan apa saja mengenai daerah mereka, budaya mereka, atau sekedar mendapatkan informasi wisata di kampung mereka tersebut. Jika pembicaraan sudah terbuka, maka tak sungkan candaan khas mereka akan keluar menghangatkan suasana, bahkan anda bisa dengarkan keluh kesah mereka yang tinggal jauh dari ibu kota Negara itu. Mungkin saat itu kita bisa lebih mengetahui dan merasakan menjadi warga Negara yang belum terpenuhi haknya dan mensyukuri apapun keadaan kita yang jauh lebih beruntung dari mereka di sana. Jarak menuju sekolah yang jauh, listrik belum sepenuhnya terpasang, ada bantuan instrument penerangan tenaga surya namun tetap harus bayar lebih mahal dari biaya perbulan listrik Negara, adapula karporasi bonafit dengan jaringan siarannya yang masih saja melucuti materi mereka dengan mengaku program pemerintah dan harus membayar dengan harga yang lumayan untuk ukuran mereka. Setelah mendengar dalam hati pasti akan berkata “ betapa beruntungnya saya”. Sumber: Click here
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H