Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kampanye Politik dengan Buzzer Sudah Usang

20 Mei 2023   23:58 Diperbarui: 22 Mei 2023   06:47 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rust Car oleh Mark Vegera/pexels.com

Buzzer seolah menjadi entitas subtil tapi ada. Mereka ada tapi tidak ada yang mau mengaku. Mereka sebagai mata pencaharian. Tetapi tidak ada yang mencantumkan pekerjaan ini di portfolio. Buzzer dan kampanye politik beroperasi di sisi gelap sosial media dan grup aplikasi chat.

Istilah buzzer politik lekat mengacu pada individu atau kelompok yang menyebarkan informasi atau opini di medsos. Agendanya untuk mempromosikan atau menyerang pihak politik tertentu. 

Beberapa bermotif komersial untuk mendapat bayaran dari pihak tertentu. Walau ada juga motif sukarela karena dorongan ideologi atau loyalitas terhadap pihak yang didukung.

Buzzer berbayar oleh satu atau dua pihak sekaligus, jelas sudah culas. Tapi tetap saja, kampanye politik dengan buzzer tidaklah etis dan relevan di Pemilu 2024. Buzzer menjadi komoditi politik untuk menyebarkan propaganda, mendiskreditkan lawan politik. Beberapa jelas ingin memecah-belah publik.

Seiring berjalannya waktu, netizen sudah kian cerdas sekaligus jengah pada buzzer politik. Keefektifan buzzer politik pun patut dipertanyakan. Beberapa indikasi bahwa kampanye politik dengan buzzer tidaklah efektif atau usang antara lain:

  • Buzzer politik sering dengan sengaja atau terjebak menyebarkan hoaks, framing, dan fitnah. Sehingga mereka merusak kredibilitas pihak yang membayar. Publik pun menjadi kian skeptis dan apatis.
  • Buzzer politik biasa menggunakan bahasa yang provokatif, menyerang, atau menjelek-jelekkan lawan politik. Netizen dibuat muak dengan perdebatan yang tidak produktif dan tidak sehat di medsos.
  • Buzzer politik minim kemampuan menjawab pertanyaan kritis. Karena publik membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang isu-isu politik aktual dan mendesak. Buzzer pun gagal membentuk opini publik yang positif.
  • Buzzer politik tidak memiliki jaringan sosial yang luas dan beragam. Mereka hanya mampu menjangkau kelompok tertentu dan homogen atau sudah memiliki pandangan serupa. Hal ini membuat perspektif pada kelompok lain sulit berubah.

Dari indikasi usangnya buzzer politik di atas jelas didasarkan pada daya rusak buzzer itu sendiri. Pertama, kampanye politik menggunakan buzzer jelas melanggar prinsip demokrasi. Dengan model kampanye sesat, buzzer tidak menghargai kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, dan partisipasi publik. 

Buzzer pun lekat citranya dengan pengaburan fakta. Seringkali dengan membungkam trending, mereka menghalangi publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan objektif. Buzzer telah mereduksi kekuatan demokrasi dengan provokasi, penurunan tingkat kepercayaan terhadap media, dan pelemahan kontrol sosial.

Kedua, kampanye politik dengan buzzer merugikan Capres, Caleg atau parpol itu sendiri. Buzzer membawa citra negatif bagi kandidat dalam politik. Sehingga yang menggunakan jasa buzzer dianggap tidak jujur, tidak transparan, dan tidak bertanggung jawab. 

Efek bumerang buzzer dengan opini blunder, framing, dan hoaks juga cukup merugikan. Buzzer dapat merusak reputasi dan kredibilitas calon atau partai politik di mata publik dan mengurangi elektabilitasnya. Mereka juga bisa menimbulkan konflik atau permusuhan dengan pihak oposisi yang menjadi sasaran serangannya.

Ketiga, kampanye politik dengan jasa buzzer sudah tidak relevan dan kebutuhan masyarakat. Karena buzzer kini tidak dapat memberikan informasi yang mendalam, komprehensif, dan bermutu. Terutama informasi tentang visi, misi, program, dan kinerja calon atau partai politik. 

Kini para buzzer hanya mengandalkan konten sensasional, provokatif, atau emosional. Minimnya kandungan edukasi tentang politik dan demokrasi bagi netizen, membuat buzzer kian dinafikan. Buzzer politik sudah tidak dapat menjawab tantangan dan kendala yang dihadapi bangsa dan negara di era globalisasi dan digitalisasi.

Dengan rekam jejak reputasi seperti di atas, kendala yang dihadapi buzzer dan pebisnisnya semakin sulit. Kendala yang mungkin dihadapi oleh buzzer politik di tahun politik di 2024 nanti antara lain:

  • Buzzer politik harus bersaing dengan sumber informasi lain yang lebih kredibel. Media massa, lembaga survei, akademisi, atau aktivis masyarakat sipil menjadi prioritas. Karena mereka dapat memberikan data dan fakta yang lebih valid dan objektif.
  • Buzzer politik harus menghadapi regulasi dan pengawasan dari pemerintah dan lembaga terkait, seperti KPU, Bawaslu, Kominfo, atau Polri. Sanksi-sanksi hukum bagi pelaku penyebaran hoaks atau ujaran kebencian jelas diregulasi UU ITE misalnya.
  • Buzzer politik kini harus beradaptasi dengan inovasi teknologi dan algoritma media sosial. Apalagi saat platform medsos pun semakin ketat peraturan pada informasi kampanye. Terbatasilah jangkauan dan dampak informasi yang disebarkan buzzer.
  • Buzzer politik harus mempertahankan loyalitas dan motivasi mereka dalam menyebarkan informasi. Hal ini terkait kepercayaan dari klien. Jangan hanya karena ada perubahan kepentingan atau konflik internal di pihak politik yang didukung, mereka berubah kubu.

Bagi para kontestan Pemilu 2024, urungkan berkampanye politik menggunakan buzzer. Selain sudah tidak etis dan relevan di Pemilu 2024 nanti, metode sudah usang. 

Dampaknya pun sudah bisa pasti sangat buruk. Walau medsos menjadi media murah dan mudah berbisnis dengan buzzer politik. Netizen sudah cukup apatis dan asimpati pada buzzer.

Kampanye politik seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang positif, kreatif, dan konstruktif yang mengedepankan substansi, dialog, dan kerjasama. Pemilu di medsos sebaiknya menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan partisipasi politik secara cerdas, moderat, dan beretika. 

Kampanye politik seharusnya menjadi wujud dari komitmen calon atau partai politik untuk melayani kepentingan publik dengan integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas.

Salam,

Denpasar, 21 Mei 2023

12:58 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun