Kedua, polarisasi berpotensi merusak citra dan reputasi kandidat atau lembaga publik. Buzzer politik bisa mengganggu proses Pemilu yang jujur dan adil. Karena menempuh segala macam cara, buzzer politik sering menyerang kandidat lain membabi buta. Baik dengan memfitnah, menyebarkan hoaks, sampai ujaran kebencian.
Karena efek echo chamber atau ruang gema, aktivitas negatif bisa dianggap benar. Memfitnah dengan hoaks, statistik palsu, sampai rekayasa foto dan video bisa diiyakan dalam kelompok macam ini. Karena hal macam ini menguatkan keyakinan mereka. Mencari fakta atau opini berseberangan berarti menantang hegemoni kelompok.
Ketiga, bisnis gelap yang menggiurkan tapi nirempati. Dengan buzzer politik yang masih ramai hingga saat ini, aktivitas ini menjadi bisnis menggiurkan. Walaupun bisnis macam ini ada di daerah abu-abu. Pimpinan dan anggota grup menjaga eksklusifitas kelompok mereka. Karena jelas untuk menjaga privasi dan rasa aman pergerakan kelompok.
Unsur tribalisme dimana para anggota kelompok saling jaga diri dan rahasia menjadi kunci. Maka untuk membuktikan keberadaan bisnis mereka pun cukup sulit. Namun dibalik sifat subtil aktivitas bisnis mereka, bermain dua kaki bukan tidak mungkin dilakukan. Selama dana dan dukungan diberikan, tugas buzzing bisa dilakukan.
Keempat, buzzing bukan sekadar menyesatkan opini. Aktivitas buzzer lebih memperkeruh informasi. Informasi penting yang trending bisa dikounter informasi sepele. Pengalihan isu yang begitu subtil dilakukan tanpa disadari publik. Saat trending yang menukar isu penting menjadi sepele, buzzer menang.
Pihak yang dituduh atau dirugikan dari trending organik jelas panik. Buzzer yang bisa digerakkan berbayar secara masif dan terstruktur, mengubur isu merugikan. Walau kadang sering aktivitas ini gagal, namun bukan berarti tidak bisa diulang. Publik yang mudah teralihkan pun bisa jadi lupa akan isu menekan satu jam lalu.
Penting bagi publik untuk lebih cerdas dan kritis dalam mengonsumsi informasi di medsos. Cek fakta dan prebunking informasi atas kebenaran dan sumber informasi yang mereka terima wajib dilakukan. Informasi provokatif, diskriminatif, atau menghasut perlu dihindari. Isu ini selain memakan hati, ia juga menguras nalar dan hati nurani.
Etika dan sopan santun dalam berkomunikasi di medsos menjadi benteng diri. Buzzer yang menginginkan perhatian dan kemarahan publik atas satu propaganda jelas merugikan. Ketika publik turut mengomentari dengan kasar, tujuan buzzer tercapai. Semakin besar jangkauannya, semakin merugi publik.
Di Pemilu 2024 nanti, buzzer masih ada dan subur. Publik perlu menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan bertanggung jawab. Tapi jelas harus bisa kritis terhadap informasi di medsos. Satu lagi, menjadi buzzer juga mengerdilkan nurani demi sejimpit upah.
Salam,
Wonogiri, 11 Mei 2023