Trending sudah penuh dengan wajah Capres. Trending kata kunci kini menjadi perang antara penjual afiliasi toko online dengan Capres. Kejenuhan ini bukan saja membuat jenuh, tapi jengah. Karena kadang tanpa malu, sering trending terkait bencana malah dihiasi foto Capres. Info yang asli pun tertimbun 'sampah visual' kampanye politik ini.
Media sosial telah lama menjadi medan perang kampanye politik. Media sosial juga membawa banyak Capres menjadi orang nomor satu di banyak negara. Banyak contohnya seperti Obama tahun 2008, Trump tahun 2016, Â Bolsonaro tahun 2022, sampai terakhir Ferdinand Marcos Jr. tahun 2023.
Fitur medsos yang real-time dan personal jelas menguntungkan tim sukses kampanye politik. Kini ada lebih dari 4,7 miliar users media sosial secara global. Indonesia sendiri memiliki lebih 197 juta users medsos. Jejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pilpres 2019 menjadi faktor pendorong Joko Widodo naik terpilih kali pertama dan berikutnya.Â
Sudah hampir 1 dekade kampanye politik berlangsung di medsos, publik kini sudah merasa cukup. Publik sudah cukup merasa banyak dampak negatif yang timbul dari medsos sebagai alat kampanye politik. Dampaknya bukan saja di dunia maya seperti polarisasi, tapi sudah dirasakan efeknya di dunia nyata. Lalu masih efektifkah kini berkampanye di media sosial?
Sebaiknya tim sukses kembali menengok keefektifan kampanye politik di medsos. Berikut adalah beberapa alasan mengapa berkampanye politik di media sosial tidak lagi efektif:
Pertama, kejengahan pada hoaks. Ramainya berita hoaks jelas menurunkan kredibilitas Capres. Hoaks dibuat oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk mencemarkan nama baik atau memfitnah lawan politik. Dan tujuannya untuk bisa mempengaruhi opini publik negatif. Sehingga publik beralih, membenci atau meragu terhadap calon kandidat tertentu.
Hoaks pun bisa mencemari informasi yang benar. Karena semakin tidak terbendungnya sumber informasi (users), semakin terkubur informasi benar. Semakin didiskusikan dan didebatkan, semakin kabur makna dan fokus informasi. Sehingga terjadi kekacauan informasi yang luar biasa.
Kedua, kelindan kampanye atau propaganda hitam negatif. Tujuannya jelas untuk merusak reputasi Capres lain dengan cara yang tidak sehat. Sering juga menghalalkan segala cara. Kampanye hitam di medsos dilakukan oleh akun anonim. Mereka berusaha memecah belah users medsos isu sensitif, provokatif dan sensasional tak berdasar.Â
Pelibatan influencer atau buzzer berbayar dalam kampanye hitam adalah strateginya. Mereka akan menyerang dan mengubur isu-isu yang mendelegitimasi kandidat yang didukung. Mereka juga mendukung dengan mendorong tagar trending, terlepas dari informasi viral apapun itu. Mereka melakukannya secara terstruktur dan sistematis.
Ketiga, kemungkinan menurunnya partisipasi politik masyarakat. Walau di Indonesia partisipasi Pemilu masih cukup banyak. Kejenuhan dan keberlimpahan konten kampanye politik di medsos mendorong menurunnya partisipasi publik. Publik juga ingin medsos kembali menjadi sumber informasi real-time dan kolaboratif, tanpa sampah visual politik.
Karena yang ditemui, konten kampanye politik terkesan monoton dan mengganggu informasi penting dan relevan netizen. Sehingga publik merasa apatis atau tidak peduli dengan kampanye politik. Karena yang publik amati adalah tidak ada perbedaan konten dan strategi antara calon kandidat satu dengan lainnya.
Dari ketiga alasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kampanye politik di media sosial tidak lagi efektif. Kandidat Capres 2024 nanti tidak ingin dampak negatif. Strategi dan media kampanye politik pun dicari alternatifnya. Pastikan juga, kedua hal ini bisa lebih kreatif, inovatif, dan etis untuk berkampanye politik di Pilpres 2024 nanti.
Salam,
Solo, 06 Mei 2023
01:38 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H