Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hoaks Saat Pemilu dan Pentingnya Prebunking

2 Mei 2023   14:32 Diperbarui: 2 Mei 2023   16:17 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuda Putih oleh Alexas  Fotos/pexels.com

Pemilu tahun 2024 sudah cemar dengan penyebaran hoaks. Sejak 2019, hoaks telah menjadi bagian Pemilu di Indonesia. Sangat disayangkan jika cela ini berlanjut di tahun 2024. Baik di platform media sosial, aplikasi percakapan, platform video sharing, hoaks diprediksi akan mencemari jalannya Pemilu.

Seiring pengumunan Capres dari beberapa kubu sudah dimulai. Muncul juga bermacam hoaks yang mencederai akal sehat. Hoaks menyerang bakal Capres, tuduhan PKI, anti asing, sampai mendiskreditkan badan Pemilu sudah mulai terjadi. Menjadi cuek atau tidak peduli bukan pilihan. Menjadi pemilih cerdas menjadi prioritas.

Upaya kuratif seperti cek fakta (debunking) telah cukup efektif dan banyak dilakukan. Cek fakta berfokus pada memberikan data, fakta, dan klarifikasi dari hoaks yang beredar. 

Aduan netizen tentang hoaks juga menjadi fokus aktivitas cek fakta. Baik pemerintah, perusahaan teknologi, dan organisasi masyarakat melakukan aktivitas cek fakta.

Cek fakta menjadi pertahanan pertama yang telah proaktif dilakukan. Platform kolaborasi seperti cekfakta.com menjadi garda terdepan cek fakta sejak 2019. Organisasi seperti Mafindo menyasar edukasi anti-hoaks kepada anak muda sampai lain. Chatbot seperti Kalimasada dan Liputan6 juga menjadi bekal publik untuk cek fakta.

Upaya preventif juga telah dilakukan berbagai pihak. Fokusnya adalah mengedukasi dan meningkatkan kecakapan literasi digital publik. Aktivitas seperti pelatihan cek fakta adalah contohnya. Dengan mengkampanyekan pelatihan ini, berbagai pihak memberikan kewaspadaan dan kompetensi cek fakta terhadap hoaks.

Namun, upaya kuratif dan preventif dirasa kurang cukup. Karena seiring canggihnya teknologi digital, semakin licik pula hoaks. Teknologi seperti deepfake dan Midjourney untuk memalsukan video dan foto jadi ancaman etis yang serius. ChatGPT pun bukan tidak mungkin menciptakan narasi hoaks.

Membekali publik dengan kecakapan prebunking menjadi langkah suplemental. Prebunking bukan oposisi dari aktivitas debunking. Namun aktivitas yang saling melengkapi. Konsep prebunking sendiri didasarkan pada teori inokulasi (innoculation). Dalam konteks hoaks, publik diberikan imunitas terhadap hoaks.

Dirangkum dalam penelitian ini, teori inokulasi merupakan framework dari ranah psikologi sosial. Fokus teori ini adalah memberikan tindakan secara pre-emptive secara psikologis terhadap upaya persuasi yang merugikan. Dengan kata lain, menciptakan kekebalan pada individu dari dampak negatif, seperti virus dan bakteri.

Dalam ranah misinformasi atau hoaks, ada dua intervensi prebunking. Pertama adalah aktif di mana seseorang tersebut berinteraksi langsung dengan petunjuk untuk memproses atau menyusun hoaks. Seseorang akan memahami, membuat, dan menyebarkan narasi hoaks sesuai prompt yang diberikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun