Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sosial Media dan Persahabatan yang Rapuh

26 April 2023   23:01 Diperbarui: 27 April 2023   13:13 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial pada awalnya medium memperbanyak teman. Setidaknya ini yang terjadi saat demam Facebook di awal 2006. Semua orang berlomba menambahkan teman. Semakin banyak teman, ada rasa bangga dirasakan. Namun seiring medsos berlimpah dengan fitur, fungsi cross-platform sampai monetisasi, pertemanan pun semakin rapuh.

Pertemanan di medsos umum disebut weak ties. Ikatan lemah ini adalah ikatan antara orang yang saling mengenal, tapi sekadar kenal saja. Dalam istilah dunia nyata, orang seperti ini mungkin jarang atau hanya pernah sekali berinteraksi saja. Pertemanan pun menjadi media untuk menambah teman dan jejaring saja.

Adapun ikatan lain yaitu strong ties dan absent ties. Strong ties adalah ikatan antaraorang yang sangat lekat, seperti keluarga. Sedangkan absent ties adalah ikatan kosong antar orang (users) tanpa ikatan apapun. Medsos mendorong banyak manfaat weak ties. Karena dengan like dan comment misalnya, kenalan berbisnis bisa mengingat seseorang.

Namun dibalik like, comment, dan share, ada kerapuhan pertemanan. Memberikan like bukan berarti suka, tapi bisa jadi basa-basi. Memberikan comment bisa bukan sekadar basa-basi, tapi gabut. Men-share postingan bukan berarti suka, bisa saja membagi kecongkakan.

Fitur medsos yang bejibun juga membuat pertemanan semakin tak bisa diduga. Dengan fitur filter wajah misalnya, teman alumni SMP tahun 1990 bisa tetap awet muda. Tapi beda sekali ketika bertemu di reuni. Membatasi siapa saja yang bisa melihat atau berkomentar pada postingan juga memberi jarak pertemanan.

Fungsi cross-platform menjadikan pertemanan sulit dipercaya. Dengan akun berbeda di platform medsos lain, seseorang bisa begitu mudah merendahkan orang lain. Apalagi diiring rasa dengki dan tak nyaman dengan postingan hedon seseorang. Walaupun semua orang jelas bebas berekspresi di medsos miliknya.

Sisi monetisasi pun membuat jumlah friends menjadi 'jualan'. Monetisasi bisa datang dari platform itu sendiri, seperti YouTube dengan istilah 'followers'. Atau juga monetisasi mandiri dengan bentuk soft-selling seperti gimmick staycation walau promosi hotel. Pengiklan tentu senang dengan jumlah teman/pengikut yang begitu banyak.

Pertemanan pun menjadi sekadarnya saja. Mungkin juga kini banyak yang menganggap jumlah teman tidak lagi penting dicari. Mungkin bagi yang bercita-cita menjadi influencer mencari banyak teman jadi penting. Namun kembali, pertemanan pun menjadi aktivitas jual-beli engagement.

Kerapuhan pun diamplifikasi dengan algoritma medsos. Kini, beberapa medsos mementingkan informasi viral daripada interaksi antar users. Dengan kata lain, apapun dan siapapun yang viral maka akan muncul di linimasa. Atas rekomendasi algoritma, karena seorang temannya teman me-like satu postingan. Maka postingan ini muncul di teman yang kenal temannya teman ini.

Dampak yang mungkin juga terjadi adalah tingginya kecemasan. Karena postingan barang branded lebih banyak like, comment, dan share, diri sendiri menjadi insecure. Persaingan menjadi yang paling branded dan populer bisa memaksa beberapa orang nekat. Mungkin melakukan segala cara agar bisa dapat barang branded bisa dilakukan.  

Orang pun menjadi takut dijulidin netizen. Postingan sepele yang dikomentari orang dalam absent tie bisa menyakitkan. Membayangkan orang tak dikenal merendahkan diri cukup membuat takut beberapa orang. Apalagi medsos yang didasari kebebasan kebablasan kadang menyalahi prinsip partisipatif.

Walau semakin dewasa seseorang semakin sedikit (atau elit) pertemanan. Namun ironisnya, semakin juga banyak teman di medsos. Ada paradoks yang dirasakan dan diinginkan. Walau merasa banyak teman di medsos, tapi tidak seperti yang diinginkan. Yaitu sebuah persahabatan yang lebih kuat dan suportif.

Salam

Wonogiri, 26 April 2023

11:01 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun