Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kolom Komentar sebagai Pseudo-Realitas

17 Maret 2023   23:05 Diperbarui: 17 Maret 2023   23:16 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kolom komentar selalu menarik dibaca. Tak jarang, users medsos juga gemas untuk berkomentar. Dinamika obrolan di kolom komentar kadang lebih dramatis dari postingan itu sendiri. Users asli atau anonim tak jarang beradu paling edgy atau logis. Beberapa users juga malah sering berlaku konyol dalam kolom komentar.

Kolom komentar menampilkan realitas. Setidaknya bagi beberapa users. Bagi platform digital dengan fitur kolom komentar lain belum tentu. Realitas yang dibuat sering begitu otentik sekaligus organik. Di lain kesempatan, kadang bisa dibilang terlalu nampak nuansa tendisius.

Di dalam komentar, sering muncul dramatisasi perspektif users lain. Tak jarang drama komentar ini lebih menarik dari postingannya. Dibalik anonimitas, kebebasan berekspresi, dan 'demokrasi'. Netizen lebih senang julid, edgy, paling lucu, paling pintar, dan paling lainnya. Setidaknya agar mendapat like, RT atau komentar mendukung.

Setidaknya ada 4 alasan penyedia platform medsos menyediakan fitur kolom komentar. Pertama, memberikan nuansa sosial di medsos. Kedua, mendukung hak kebebasan berekspresi. Ketiga, mendorong engagement antar users.  Dan keempat, menandakan satu posting berpotensi viral.

Kolom komentar menjadi indikator penting platform digital, bukan saja medsos. Blogger yang kondang di era 90-an menjadikan kolom komentar sebagai perluasan jejaring dan indikasi ketenaran. Friendster yang menjadi cikal bakal jejaring sosial, juga ada kolom komentar untuk dipamerkan.

Kolom komentar pun bisa terlihat di platform e-commerce, review gim, review restoran, dsb. Selain indikasi sosial, kolom komentar menjadi indikasi otentisitas realitas users. Dengan kata lain, dengan memberi komentar dapat berarti user sebelumnya pernah mengalami dan merasakan realitas dari platform.

Walaupun memang tidak selama otentik. Beberapa jasa memberikan komentar dan review juga bisa digunakan. Selain mempercepat popularitas, juga menjadi legitimasi. Jika pun komentar otentik didasarkan pengalaman empiris diberikan. Tak jarang tenggelam karena dihapus pembuat post, ditimbun review buatan, atau posting diganti baru walau serupa sebelumnya.

Realitas dalam kolom komentar pun gamang. Satu sisi sering netizen bisa membeberkan fakta sesungguhnya. Netizen dengan beragam latar belakang dan pengalaman dapat mengungkap fakta atau jawaban. Di sisi lain, kolom komentar juga bisa dimanipulasi. Tujuannya jelas, mengaburkan fakta atau menguatkan propaganda.

Pseudo-relitas pun terjadi. Netizen cerdas mungkin telah mengklasifikasi, mana platform dengan komentar otentik dan bukan. Menurut mereka komentar otentik adalah user lama, dengan foto profil, dan jejak digital baik. Namun bukan berarti, akun-akun real seperti ini juga adalah hasil otomatisasi dan AI.

Kecerdasan AI seperti Chat-GPT bisa menjadi indikator nyata. Atau layanan chat berbasis AI yang bisa memberikan solusi komentar yang otentik, seperti obrolan, dan luwes. Bisa saja balasan komentar bank terkenal dibuat oleh bot. Karena menghadapi barbarnya netizen, bisa mengikis kekuatan psikologis admin medsos.

Kolom komentar telah menjadi ajang berebut realitas serupa postingan medsos. Postingan medsos yang dibatasi format, akses, dan perangkat nyatanya bisa diakali. Dengan bantuan filter, musik, sampai AI sebuah postingan bisa begitu mewah dan otentik. Begitupun dengan kolom komentar

Dampaknya, medsos menjadi perang AI antar penyedia layanan atau pihak berkepentingan. Satu layanan jasa kampanye politik berbasis AI misalnya, bisa diserang jasa berkomentar berbasis AI. Netizen merasa ada yang seru di kolom komentar. Tapi jatuhnya hanya menyaksikan komentar robot belaka.

Walaupun begitu realitas yang didapat tidak mengaburkan pesan. Tetap terjadi perang komentar bot di postingan politik. Tetap ada upaya menjatuhkan toko online dengan jasa komentar/review. Tugas platform medsos pun semakin berat. Mereka harus menandai komentar otentik dan bot di masa depan.

Salam,

Wonogiri, 17 Maret 2023

11:05 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun