Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melawan Negara dengan Meme

4 Maret 2023   16:34 Diperbarui: 6 Maret 2023   17:35 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meme (dibaca: mim) menjadi fenomena menarik di Internet, hingga ke medsos. Banyak yang belum memahami kalau meme sendiri mengacu kepada proses evolusi biologis terkait gen.

Meme berasal dari bahasa Yunani Kuno mimeme atau mmma yang berarti mengimitasi semua hal. Persis seperti gen yang diturunkan dari mahluk hidup sebelumnya.

Meme sendiri dipopulerkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene. Sebagai sebuah proses meme menjadi viral dengan berevolusi melalui seleksi alam. Dalam prosesnya meme melalui proses variasi, mutasi, persaingan, dan pewarisan, yang memengaruhi keberhasilan reproduksi meme. 

Konsep meme gen dan meme internet sejatinya mengadopsi proses serupa. Sejak era internet, meme, yang merupakan integrasi gambar visual dan frasa memiliki konteks parodi atau satir. Meme ditujukan untuk mempercepat sebagai proses perubahan sosial dengan konektivitas internet yang masif. 

Dengan menggunakan meme, user dapat melibatkan diri dalam diskusi publik perihal situasi politik yang terjadi. Namun dengan dengan cara yang parodik atau satirik. Dengan nilai hiburannya, meme telah memastikan kemampuan meme yang cepat meluas untuk mempengaruhi opini publik, ide, dan bahkan aksi

Humor secara historis menjadi sarana non-kekerasan melawan represi. Studi dari Pearce dan Hajizada (2014) pada tragedi Tahrir Square menungkap ini. Postingan masif user di Mesir berbasis propaganda politik juga banyak terbungkus humor. Menurut studi mereka, setidaknya seperlima dari posting Twitter pada tahun 2011 bersifat parodi. 

Meme humor di medsos jelas meruntuhkan Husni Mobarak. Menurutnya humor politik saat pemberontakan di Tahrir Square berada di urutan kedua terkait informasi yang dikonsumsi oleh orang Mesir melalui medsos. Melalui internet, isi pesan mudah dan murah diproduksi dan didistribusikan. Dan humor berperan strategis bagi oposisi untuk melawan otoritas.

Meme yang bernuansa parodi, memiliki dampak dua kali lipat tajamnya kritik. Meme juga memudahkan pesan ditransmisikan ke komunitas virtual atau cross platform. Konsep anonimitas di medsos yang membuat dan memampukan publik merasa terlindungi bahkan dari jeratan hukum. 

Naluri kawanan mendorong meme di-share tanpa berpikir panjang. Hal ini jelas mengancam pihak berwenang. Tak jarang pihak berwenang dan pemerintah menggunakan kekuatan pasal karet di medsos secara sembrono. Banyak user pun merasa tidak nyaman dan terancam dari reaksi berlebihan ini.

Walau ketakutan seperti itu sebenarnya cukup logis. Pertama, internet memungkinkan meme humor menjangkau publik. Bahkan diterima mereka yang tidak menyukai isu politik. Kedua, viralitas membuat Pemerintah menjadi tidak berdaya untuk mengendalikan distribusi pesan meme politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun