Kasus anak pejabat DJP Kemenkeu menganiaya putra petinggi Ansor seharusnya tidak perlu terjadi. Orang tua mana yang ingin anaknya melukai dan dilukai. Apalagi saat kasus ini menjadi obrolan viral di medsos dan merembet kemana-mana. Netizen dan media berghibah sepuasnya. Institusi pemerintah dan pejabatnya ketar-ketir
Ghibah netizen cukup variatif mengoreknya. Mulai dari kehidupan hedon pelaku, sampai mobil mewah tak terdaftar di LHKPN sang ayah pelaku dibahas liar di medsos. Multiperspektif netizen atas satu isu viral terlihat jelas. Kata kunci trending pun terus berubah walau masih membahas isu sama.
Kasus penganiayaan viral ini juga melibatkan subjek yang cukup menarik. Pertama, pelaku adalah anak seorang pejabat di DJP Kementerian Keuangan. Kedua, korban adalah anak dari petinggi Ansor, organisasi pemuda dibawah NU. Organisasi atau instansi kedua subjek ini cukup populer dan berpengaruh di medsos.
Ketiga, akun-akun medsos yang mengangkat pun cukup cekatan mencari info pelaku dan memviralkan. Walau terlepas ada unsur koordinasi terstruktur atau tidak pada subjek nomor tiga. Tetapi dari pergerakan awal kasus ini sampai viral, cukup cepat dan mendapat respon netizen yang luar biasa.
Isu viral ini menampilkan fenomena menarik. Satu masalah yang diangkat di medsos dan viral menimbulkan efek wildfire. Efek wildfire menggambarkan api yang merembet dan membakar apa yang dilaluinya. Tragedi pemukulan anak petinggi Ansor, merembet pada elemen berikut:
Pribadi pelaku:
- Gaya hidup hedon dan glamor pelaku
- Menebak uang dibalik pemilikan Jeep Rubicon dan motor Harley
- Asumsi dibalik rencana pelaku menganiaya korban
Keluarga pelaku:
- Ayah pelaku, sebagai pejabat Eselon III hartanya sangat berlimpah
- Dugaan harta berlimpah yang tidak halal
- Harta ayah pelaku di LHKPN lebih banyak daripada Presiden
Institusi ayah pelaku:
- Ayah pelaku sebagai pegawai pajak, tapi tidak tertib melaporkan harta ke LHKPN
- Menkeu, Sri Mulyani diminta tegas menyikapi pelanggaran ini
- Rubicon nopol palsu dan telat bayar pajak, padahal ayah pejabat Dirjen Pajak
Out of topic, tapi relatable:
- Ayah pelaku menjadi contoh PNS bergelar sultan dan Tukin tinggi
- Anak pelaku bisa hidup hedon, tapi masyarakat keberatan dipotong pajak dan naik angkutan umum
- Perilaku mempermainkan hukum melekat pada anak petinggi dan pejabat negara
Model viral yang merembet ini tentu tidak hanya menimpa pada anak pejabat atau tokoh. Orang biasa yang sedang disoroti dengan kasus viralnya, juga bisa terkena efek wildfire ini. Namun efeknya berbeda daripada mereka yang berpengaruh, berharta, dan terkenal di ranah publik.
Media sosial memang tidak pernah sepi dari drama dan tragedi. Kasus viral anak pejabat DJP Kemenkeu ini menjadi contoh budaya partisipatif medsos. Terlepas kolaborasi ini untuk menuntut keadilan atau pun sekadar menuduh membabi buta karena informasi palsu. Aspek negatif budaya partisipatif macam bisa dibaca lebih lanjut disini.
Publik pun kini menyadari satu adagium baru. Selain sebisanya hidup menjauh dari urusan hukum dan polisi. Hidup pun sebaiknya jauh dari menjadi viral di medsos. Ada ketakutan sendiri dari efek wildfire karena isu terkait diri sendiri viral. Netizen jelas tidak bisa dicegah untuk 'menyelam' mencari jejak digital negatif seseorang yang viral.
Bagi sebuah instansi, seperti asal ayah pelaku di atas, juga ketar-ketir berhadapan kasus viral. Komunikasi publik sebuah organisasi menghadapi kasus yang sifat real-time dan harus segera dimitigas. Bisa jadi satu jam dari sekarang, ada pejabat dan/atau keluarganya viral kasusnya. Siap-siap tempatnya bekerja menjadi target netizen tanpa ampun.
Seperti api yang membakar apa yang dilintasinya, begitupun kasus viral. Pihak yang terlibat dalam kasus tidak pernah tahu rembetan api ini akan membakar apa saja.
Salam
Wonogiri, 22 Februari 2023
10:46 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H