Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memandang dari Banyak Kepala

15 Februari 2023   23:04 Diperbarui: 15 Februari 2023   23:10 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lanskap sosmed adalah latar liar cara berpikir. Multiperspektif yang dangkal sering menyesatkan. Begitu banyak kejutan dan plot twist dari narasi individu di medsos menghisap dan melelahkan perhatian user-nya. Freedom of expression di medsos dapat menjadi freedom of justification. 

Multiperspektif dapat berarti memandang atau berpikir dari banyak kepala. Sering bukan untuk mencari solusi bersama. Banyak kepala hanya sekadar bersenang-senang nimbrung berkomentar. Ada juga yang begitu arogan untuk menyalahkan dan mengucilkan opini orang lain. Beberapa malah nyinyir bahkan memprovokasi.

Begitu riuhnya perspektif netizen pada satu kasus, tidak hanya mengaburkan fokus dari isu atau narasi yang diangkat. Tetapi sekaligus menimbulkan banyak isu baru untuk diperdebatkan. Isu yang tidak pernah diduga untuk ditampik. Dan juga isu di luar nalar yang memicu debat kusir dan caci maki.

Bagi silent user di medsos, keributan multiperspektif menjadi 'hiburan' tersendiri. Betapa mudah tersinggung seseorang dengan postingan atau komentar yang katanya bercanda. Betapa mudah orang menjustifikasi orang lain karena postingannya. Upaya untuk men-cancel pelaku kadang disambut users lain. 

Labelisasi menjadi mudah dilakukan di medsos. Anonimitas diri untuk menjadi digital presence impian bisa dilakukan di medsos. Akibatnya, batas membedakan akun anonim dan asli itu cukup tipis. Anonimitas digunakan untuk aktivitas ganda yang ironis. Ia bisa menjadi pelindung identitas diri di dunia nyata. Ia juga digunakan untuk menyerang user lain.

Keberlimpahan identitas virtual memungkinkan user membangun figur virtualnya secara apik. Akun asli pun, dengan foto, tautan, bio, sampai gelar mentereng masih bisa direkayasa. Users lain yang sudah begitu jenuh dan jengah, bisa mudah tertipu dalam jebakan betmen pemodifikasi identitas virtual.

Skeptisisme tidak sehat pun menjadi praktik sehari di linimasa. Mempertanyakan semua hal dengan praduga tak bersalah jadi prinsip penting. Tapi syak wasangka yang sudah begitu subtil menghinggapi cara pikir dan persepsi para users. Kecurigaan karena bias konfirmasi menjadi konvensi yang dipeluk netizen.  

Multiperspektif ini terus bersiklus dengan begitu cepat hadir dan berganti di linimasa. Lanskap yang cenderung menjadi toxic dan tidak sehat dihadapi user lain. Netizen bukan tidak tahu aspek destruktif sosmed ini. Tapi memilih menikmati dan sesekali mencoba menjadi bagian lanskap tidak sehat ini. Persis seperti mencoba rokok atau gorengan.

Platform medsos menyuburkan praktik ini. Multiperspektif menjadi multi-bandwagon effect yang berseteru tiada ujung. Seteru dikonversi menjadi jumlah respon atau engagement. Banyak engagement berarti isu dari netizen yang sedang ramai didiskusikan. Trending menjadi x-the spot agar lebih banyak lagi obrolan yang terjadi.

Netizen yang haus akan informasi (FOMO) mendapati trending atau FYP sebagai candu. Menyalurkan ekspresinya dengan dalih freedom expression menjadi pelepasan stress dari FOMO. Menunggu notifikasi social gesture user lain, seperti comment, like, share seperti menunggu seorang kekasih. Ada harap-harap cemas sekaligus kegembiraan menjadi 'artis'.

Komentar atau posting opini milik netizen adalah salah satu perspektif yang ditunjukkan. Namun mengatakan perspektif miliknya berbeda cukup meragukan. Saat pengalaman dan pengetahuan user di linimasa masih disuapi dengan platform dengan trending. User merasa cukup hebat terus disuapi platform demi eksposur iklan.

Multiperspektif mendapatkan bahan bakarnya dari dua elemen. Pertama, adagium hak untuk menyatakan pendapat yang semu di linimasa medsos. Dan kedua, eksploitasi platform medsos membakar debat netizen dengan memberi rambu berjuluk 'trending'. 

Netizen tanpa tedeng aling-aling, mudah berkomentar julid, solutif, sekaligus lucu-lucuan. Untuk kemudian perhatiannya dialihkan kepada trending yang lain. Algoritma medsos terus mengendus dan mengumpulkan obrolan paling berisik demi trending. Multiperspektif pun berulang dan terus dikomodifikasi di linimasa.

Salam,

Wonogiri, 15 Februari 2023

11:04 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun