Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gitu Amat Bikin Konten

11 Februari 2023   00:10 Diperbarui: 11 Februari 2023   00:14 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Clown oleh Mikey Dabro (pexels.com)

Semua orang bebas membuat dan mengunggah konten di akun medsos miliknya. Aktivitas ini jelas menjadi nadi kehidupan platform medsos. Tanpa konten berarti minim interaksi pengguna. Minim interaksi berarti minim diskusi dan obrolan pengguna. Dan minim pengguna berarti minim biaya operasional dan sustainability.

Content is king. Bagi pengguna silent, ngonten cukup orang lain saja melakukan dan menikmati. Bagi pengguna casual, ngonten adalah aktivitas senggang dan tidak terlalu serius. Bagi pengguna active, ngonten berarti berkomunikasi, bersosialisasi, dan eksis. Bagi pengguna oriented, ngonten berarti cuan, portfolio pribadi, dan berjejaring bisnis.

Banyak pengguna yang mencoba mencapai tahap oriented. Konten sepele miliknya menjadi viral dan mendapat banyak engagement. Namanya melambung dan dikenal di kehidupan nyata. Serasa diri menjadi the next rising selebgram. Tapi buntu saat mau membuat konten yang kembali viral. Karena konsep konten viral miliknya jadi membosankan dan direproduksi pengguna lain.

Kreativitas menjadi kunci agar kembali mendapatkan predikat viral, trending, atau FYP. Dari 20 konten, satu konten bisa viral saja sudah beruntung. Bisa setidaknya menambah follower dan engagement. Sensasi mendapatkan label viral menjadi candu. Yang penting kuantitas konten terus dikebut. Urusan kualitas diurus belakangan.

Ngonten pun menjadi tuntutan sekaligus candu. Tuntutan followers diikuti saja demi mendapat view, like, share, dsb. Mengikuti mau followers berarti menaikkan pamor. Mendapatkan pamor berarti bisa mengundang followers baru. Ribuan atau jutaan followers baru berarti potensi monetisasi konten.

Membuat konten menjadi aktivitas rutin, atau bisa dibilang berjuadi. Konten jelek akan beresiko dirundung ramai-ramai followers dan netizen. Kemarahan mereka dapat berarti aktivitas cancel. Dengan kata lain, konten hambar, biasa saja, dan tidak edgy mengindikasikan kegagalan diri sebagai content creator.

Kreativitas yang lurus-lurus saja mulai dibubuhi sensasi. Karena melihat dan mengamati medsos, konten sensasi dan provokasi menjadi magnet interaksi. Tetap, sensasi dari sebuah konten akan semakin surut sensasinya. Durasi konten viral yang begitu cepat berubah. Duplikasi, plagiarisme dan pencurian konten menjadi fenomena di depan mata. Tak jarang mengalami sendiri.

Sensasi pun perlu ditingkatkan. Mulailah kreativitas konten demi sensasi menabrak etika dan norma.  Tuntutan konten yang fresh dan menghibur dapat berarti berpikir dan bertindak out-of-the box. Menabrak etika dan norma adalah sensasi cepat, efisien, dan masif untuk men-trigger limpahan engagement.

Peduli kata orang dan jejak digital apa. Membuat konten menurut si content creator adalah memenuhi sakaw pada social gesture, komen, like dan share. Yang terpenting dan prioritas adalah semua mata tertuju kepada konten. Bodo amat konten positif atau negatif. 

Tidak ada segregasi jelek atau bagus konten di medsos. Dalihnya tetap, konten tadi tidak ditujukan pada segmen pembaca yang julid dan marah. Netizen yang multi perspektif, menormalisasi, dan apatis merasa konten tidak memiliki makna selain entitas mencari cuan dan perhatian.

Walau banyak yang lupa untuk dipahami demi ngonten tersebut. Pertama, dampak jejak digital diri di kehidupan nyata. Menjadi seseorang yang di-cancel dapat berarti menggagalkan interview kerja di perusahanan multinasional.  Bagi yang sudah bekerja, di-cancel berarti ada review bombing di review tempat bekerja atau malah doxxing.

Kedua, membuat konten konyol niretika sulit jadi sustainable. Konten prank memang konyol, tapi resiko salah paham, amarah atau dipersekusi korban bisa dibilang karma yang tidak diduga. Perlu nyali lebih banyak dan nekat untuk melakukan aksi prank yang semakin butuh keberanian dan kekonyolan.

Ketiga, kasihan orang yang kenal dengan si content creator konyol. Perlu dalam-dalam merenungi, konten tanpa faedah, mesum, atau provokatif memang mudah FYP. Apa kata orang tua, keluarga, teman, atau rekan yang mengenal pembuat konten? Malu. Jelas. Bingung mau berkata apa. Sudah pasti. 

Keempat, penyalahgunaan dan framing konten menjadi resiko. Video lengkap 3 menit, bisa saja dipotong 15 detik netizen julid. Multi-persepsi netizen dengan keragamannya, menjadi bahaya yang mengintai. Jelas, karena bias diri sendiri, konten milik pribadi pasti sudah cukup bagus dan informatif. Walau netizen tetap bisa membuat framing jahat.

Jangan demi viral dan FYP, eksistensi, martabat, dan reputasi diri menjadi taruhan. Akun anonim juga tidak menjamin orang lain tahu. Karena jauh di dalam diri setiap orang, ingin dikenal orang banyak bisa berarti rezeki dan pertemanan.

Salam,

Wonogiri, 11 Februari 2023

12:09 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun