Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Propaganda Komputasional: Fabrikasi Kebenaran di Media Sosial (Part 3)

7 Februari 2023   23:14 Diperbarui: 7 Februari 2023   23:27 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial adalah medan perang sekaligus lumbung suara. Semakin tenar sosok, semakin mudah pula upaya mempengaruhi netizen. Para Presiden medsos terus berperang, menanam, dan menunggu hasil. Propaganda komputasional diduplikasi sedemikian rupa demi politik dan kuasa individu.

Pencitraan dan penanaman citra subtil sosok dalam riuh interaksi linimasa jadi kunci. Menguasai medsos adalah memenangkan opini publik. Dan kadang menutupi kegagalan dan kesilapan dalam program dan jejak digital negatif. Utak-atik trending yang difasilitasi buzzer dan bot menjadi pesan bawah sadar untuk pemilih di bilik suara nanti.

Medsos yang digandrungi lebih dari 4 miliar penduduk dunia, menjadi sumber informasi utama. Medsos telah menjadi platform penting dalam interaksi politik publik dan gerbang menuju preferensi politik. Maka medsos telah menjadi media primer generasi muda dalam mencari jati diri politik mereka.

Di beberapa negara, perusahaan platform medsos telah efektif memonopoli kehidupan sosial banyak orang. Sehingga, fabrikasi kebenaran akan dengan mudah didistribusi via medsos. Diskusi demokratis online yang cenderung menyudutkan penguasa, biasanya akan dipendam dengan trending atau troll bombing (caci maki masal).

Mayoritas pemilih di beberapa negara demokrasi menggunakan medsos untuk berbagi berita dan informasi politik. Di Indonesia, jelas sejak 2017 informasi terkait Pemilu riuh rendah terjadi. Dampaknya juga, polarisasi dan labeling antar pendukung parpol dan Capres masih terjadi, sampai saat ini.

Sedang di negara dengan akses internet terbatas, medsos tetap menjadi infrastruktur politik yang penting antara jurnalis, pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan, dan elit politik. Tragedi junta militer, kudeta militer, atau demonstrasi menurunkan Presiden di negar konflik diakses real-time di medsos.

Seiring diskusi online netizen, medsos juga secara aktif telah dieksploitasi sebagai alat manipulasi opini publik. Di negara-negara otoriter, medsos menjadi perangkat utama mengontrol publik. Aktivitas surveilans negara akan semakin tinggi terutama di kala krisis politik dan keamanan.

Sedang di negara demokrasi, medsos dimanfaatkan sebagai propaganda komputasional. Propaganda putih, yang jelas terinstitusi dan resmi, digunakan secara luas untuk memanipulasi opini. Tak jarang juga digunakan untuk mensegmentasi masyarakat. Polarisasi yang terjadi pun bisa dimainkan satu kaki atau dua kaki.

Jelas, membentuk opini publik membutuhkan biaya. Trending dengan kata kunci tokoh, capaian, atau ucapan harus sistemik bukan sporadis. Biaya buzzer dan bots yang berulang dan masif perlu pendanaan besar dan konsisten. Ditambah, iklan-iklan politik di platform medsos yang biayanya tidak sedikit.

Iklan politik yang disegmentasi perlu modifikasi cerdas. Sehingga informasi dan citra disebarluaskan ke lebih banyak orang. Bot atau buzzer membentuk percakapan dan membagikan postingan hoaks atau konten partisan. Jelas mereka mendukung pihak atau kelompok tertentu. Tak jarang mendorong kampanye kebencian. 

Propaganda komputasional jelas dapat mempengaruhi hasil proses demokrasi, seperti Pemilu. Dibalik penambangan data, bot, dan buzzer dilakukan dan diatur oleh manusia. Propaganda komputasional pun dapat dilakukan oleh aktivis atau aktor politik demi kepentingan tujuan mereka atau mendukung kandidat. Sebar hoaks via bots tak jarang digunakan.

Fungsi dari bots dalam menyebarkan hoaks terfokus pada masa awal diseminasi informasi Pemilu. Masa awal ini banyak orang menjadi rentan pada manipulasi. Retweet bots yang memposting hoaks bisa menjadi referensi karena dianggap dishare dan dikomentari ratusan sampai ribuan akun. 

Fakta-fakta di lapangan dari beberapa riset mengkonfirmasi hal di atas. Hasil-hasil dari penelitian ini antara lain:

  • Terdapat 400.000 bots yang bertanggung jawab atas tweet sebanyak 3,8 miliar selama satu bulan selama masa Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2016.
  • Kampanye disinformasi dari Rusia dan Tiongkok diduga telah mempengaruhi pemilihan umum di negara-negara berikut: Jerman, Inggris, Katalonia, Perancis, Polandia, Crimea, Ukraina, Jepang dan Korsel.

Netizen tidak hanya diam dan dibodohi manipulasi ini. Di banyak negara, organisasi sosial kemasyarakatan dan komunitas bergerak. Mereka memverifikasi disinformasi dan manipulasi digital. Beberapa terus mengedukasi literasi digital dan cek fakta. Indonesia cukup beruntung pemerintah memahami pentingnya literasi digital.

Salam,

Wonogiri, 07 Februari

11:14 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun