Media sosial adalah medan perang sekaligus lumbung suara. Semakin tenar sosok, semakin mudah pula upaya mempengaruhi netizen. Para Presiden medsos terus berperang, menanam, dan menunggu hasil. Propaganda komputasional diduplikasi sedemikian rupa demi politik dan kuasa individu.
Pencitraan dan penanaman citra subtil sosok dalam riuh interaksi linimasa jadi kunci. Menguasai medsos adalah memenangkan opini publik. Dan kadang menutupi kegagalan dan kesilapan dalam program dan jejak digital negatif. Utak-atik trending yang difasilitasi buzzer dan bot menjadi pesan bawah sadar untuk pemilih di bilik suara nanti.
Medsos yang digandrungi lebih dari 4 miliar penduduk dunia, menjadi sumber informasi utama. Medsos telah menjadi platform penting dalam interaksi politik publik dan gerbang menuju preferensi politik. Maka medsos telah menjadi media primer generasi muda dalam mencari jati diri politik mereka.
Di beberapa negara, perusahaan platform medsos telah efektif memonopoli kehidupan sosial banyak orang. Sehingga, fabrikasi kebenaran akan dengan mudah didistribusi via medsos. Diskusi demokratis online yang cenderung menyudutkan penguasa, biasanya akan dipendam dengan trending atau troll bombing (caci maki masal).
Mayoritas pemilih di beberapa negara demokrasi menggunakan medsos untuk berbagi berita dan informasi politik. Di Indonesia, jelas sejak 2017 informasi terkait Pemilu riuh rendah terjadi. Dampaknya juga, polarisasi dan labeling antar pendukung parpol dan Capres masih terjadi, sampai saat ini.
Sedang di negara dengan akses internet terbatas, medsos tetap menjadi infrastruktur politik yang penting antara jurnalis, pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan, dan elit politik. Tragedi junta militer, kudeta militer, atau demonstrasi menurunkan Presiden di negar konflik diakses real-time di medsos.
Seiring diskusi online netizen, medsos juga secara aktif telah dieksploitasi sebagai alat manipulasi opini publik. Di negara-negara otoriter, medsos menjadi perangkat utama mengontrol publik. Aktivitas surveilans negara akan semakin tinggi terutama di kala krisis politik dan keamanan.
Sedang di negara demokrasi, medsos dimanfaatkan sebagai propaganda komputasional. Propaganda putih, yang jelas terinstitusi dan resmi, digunakan secara luas untuk memanipulasi opini. Tak jarang juga digunakan untuk mensegmentasi masyarakat. Polarisasi yang terjadi pun bisa dimainkan satu kaki atau dua kaki.
Jelas, membentuk opini publik membutuhkan biaya. Trending dengan kata kunci tokoh, capaian, atau ucapan harus sistemik bukan sporadis. Biaya buzzer dan bots yang berulang dan masif perlu pendanaan besar dan konsisten. Ditambah, iklan-iklan politik di platform medsos yang biayanya tidak sedikit.
Iklan politik yang disegmentasi perlu modifikasi cerdas. Sehingga informasi dan citra disebarluaskan ke lebih banyak orang. Bot atau buzzer membentuk percakapan dan membagikan postingan hoaks atau konten partisan. Jelas mereka mendukung pihak atau kelompok tertentu. Tak jarang mendorong kampanye kebencian.Â