Kamera, ponsel pintar, dan akses internet dalam genggaman memudahkan semua. Dorongan emosional jelas melemahkan logika. Etika kadang ditubruk demi menghibur, misalnya. Kasus perempuan nge-prank tanya jarak dekat di atas malah menjadi bentuk pelecehan.
Faktor ketiga, viral dianggap solusi.Â
Karena posting viral seperti kisah Tiko menjadi contohnya nyata kepedulian sesama. Beberapa kasus lain pun demikian. Namun menimbang kembali dampak dan batasan etika postingan perlu dipikirkan. Netizen yang multi perspektif bisa jadi menyoroti celah cela dalam postingan.
Faktor keempat, ingin menjadi penyelamat untuk semua.Â
Contohnya, jadi seorang yang pertama memviralkan kasus penculikan anak bisa sangat bermanfaat. Tapi jika kenyataannya bohong, seperti kisah di Bogor. Bisa malah membuat kecemasan berlebih publik. Untuk yang pertama kali menyebarkan, malah membuat cela jejak digital diri sendiri.
Sehingga muncul istilah, lebih smart HP-nya daripada orangnya. Kontrol dan kelihaian smartphone jelas tergantung kepada pemiliknya. Kemudahan akses, komunikasi, demi eksistensi dan sensasi jelas disediakan ponsel pintar. Ponsel pintar bukan lagi sekadar media hiburan. Ponsel pintar adalah juga senjata.
Senjata juga bisa melindungi orang yang lemah. Tapi dengan senjata juga, orang lain bisa dilukai. Smartphone bisa sangat bermanfaat dan mendukung kehidupan manusia. Namun jika salah guna dan tidak tepat distribusi manfaatnya, ada mudharat yang bisa menimpa.Â
Milenials, dan mungkin juga Gen-Z jelas memahami manfaat smartphone. Jika bahaya mengancam, swipe layar lalu siapkan kamera. Lalu berucap, "Mau saya viralkan?".
Salam
Wonogiri, 04 Februari 2023
12:46 am