Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Influencer, Teman di Kala Sepi

2 Februari 2023   22:48 Diperbarui: 8 Februari 2023   11:17 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cooking Live oleh Ron Lach (pexels.com)

Influencer atau pemengaruh menjadi profesi cukup menjanjikan. Secara finansial, influencer bisa mendapat endorsement atau sponsor untuk posting produk. 

Nominal fee-nya pun kadang tidak main-main. Dalam aspek sosial, influencer juga berperan penting mendorong dan mencari solusi atas satu isu pelik. Atau istilahnya, viral dulu di media sosial baru diurus.

Keunggulan jumlah followers menjadi salah satu poin signifikan. Semakin banyak followers, semakin prospektif untuk eksposur barang atau jasa atau juga isu. 

Poin lain adalah konsistensi dan frekuensi interaksi di lini masa. Influencers yang jarang posting, walau jutaan followers, bisa terlupakan. 

Poin lain yang juga dimiliki influencers adalah niche atau ceruk audiens, bidang dan hobi. Influencers di ranah gaming belum tentu dikenal publik luas. Influencer juga sering disebut micro-selebritis dengan micro-stories yang mereka kuasai. 

Bagi pengiklan, ranah niche influencer berarti pasar yang sangat potensial. Bagi sebuah isu, influencer dengan isu spesifik bisa dianggap 'pakar'.

Elemen kasat mata di atas jelas mengaburkan esensi dari asosiasi influencer dan media sosial. Influencers telah menjadi teman dalam kesepian bagi banyak orang. 

Sosmed yang begitu personal, real-time, penuh rahasia, dan anonim, membuat sepi menjadi ramai. Keramaian yang hanya dalam pikiran, bukan kenyataan.

Lepas dari keriuhan alam nyata seperti kerja, sekolah, atau rutinitas rumah, medsos menjadi alam berikutnya. Menonton YouTube favorit menjadi pelepas lelah pulang kerja. 

Men-swipe reels Instagram chef pujaan usai antar anak jadi acuan masakan hari ini. Membalas tweet gamer pujaan membuat suasana hati lebih baik pulang sekolah.

Influencer menjadi teman yang begitu ceriwis bercerita. Di depan layar PC, laptop dan ponsel, mata terus menyimak. Telinga terus mendengarkan dengan intens. 

Jemari pun kadang cekatan membubuhi komentar. Pikiran dan hati juga terus berharap ada balasan tweet yang dibuat. Senyum dan tawa tak jarang tercipta dari interaksi dalam sunyi ini.

Interaksi yang lebih intens dengan influencer diwujudkan dengan follow, subscribe atau join. Dengan melakukannya, seseorang akan merasa bisa men-support dan 'intim'. 

Dengan kata lain, ia akan terus kembali mencari dopamine atau feel-good hormon dalam interaksi virtual tersebut. Komentar yang dibalas, foto di-like, atau namanya disebut dalam video adalah kebanggaan.

"Connectivity becomes a craving." - Sherry Turkle

Quote diatas diambil dari buku Being Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, 2011. Konektivitas menjadi candu. 

Influencer menyediakan hal tersebut. Hiburan, celotehan, bahkan justifikasi menggugah emosi dan sensasi. Mata, telinga, dan tangan mungkin sunyi. Tapi isi hati dan pikiran akan terus riuh.

Saking gandrungnya dengan influencer, entah itu barang, jasa, atau donasi akan diiyakan. Isu yang didorong pun sering dibantu viralkan. Karena influencer adalah sahabat dalam kesepian. 

Ia mewarnai dan mengisi masa-masa sepi dan lelah di dunia nyata. Walaupun faktanya, kadang ketawa-ketiwi sendiri lihat YouTuber favorit ini sambil nongkrong bareng.

Jelas juga, tidak semua teman kesepian ini memberikan dampak positif. Dari mulai menginsinuasi kebencian sampai memprovokasi persekusi juga bisa dilakukan influencer. 

Banyak juga influencer dengan pengaruh dan jejaringnya, menipu banyak orang. Kerugian finansial pun diderita.

Frekuensi dan durasi paparan para influencer di medsos ini memang luar biasa. Bagi Generasi Z, dunia mereka pun dibentuk para influencer. 

Paparan dan komunikasi dengan orang tua mereka bisa jadi minim. Berkebalikan dengan para influencers. Jika salah bergaul (baca: mem-follow), dengan influencer, ada resiko tak tentu.

Dalam riuhnya influencer berceloteh, ada kesepian yang meruang. Pada akhirnya, kelindan influencer dan medsos ini menjadi apa yang Turkle prediksi.

"Networked, we are together, but so lessened are our expectations of each other that we can feel utterly alone. And there is the risk that we come to see others as objects to be accessed,- and only for the parts we find useful, comforting, or amusing."

Salam,

Wonogiri, 02 Februari 2023

10:48 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun