Influencer menjadi teman yang begitu ceriwis bercerita. Di depan layar PC, laptop dan ponsel, mata terus menyimak. Telinga terus mendengarkan dengan intens.Â
Jemari pun kadang cekatan membubuhi komentar. Pikiran dan hati juga terus berharap ada balasan tweet yang dibuat. Senyum dan tawa tak jarang tercipta dari interaksi dalam sunyi ini.
Interaksi yang lebih intens dengan influencer diwujudkan dengan follow, subscribe atau join. Dengan melakukannya, seseorang akan merasa bisa men-support dan 'intim'.Â
Dengan kata lain, ia akan terus kembali mencari dopamine atau feel-good hormon dalam interaksi virtual tersebut. Komentar yang dibalas, foto di-like, atau namanya disebut dalam video adalah kebanggaan.
"Connectivity becomes a craving." - Sherry Turkle
Quote diatas diambil dari buku Being Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, 2011. Konektivitas menjadi candu.Â
Influencer menyediakan hal tersebut. Hiburan, celotehan, bahkan justifikasi menggugah emosi dan sensasi. Mata, telinga, dan tangan mungkin sunyi. Tapi isi hati dan pikiran akan terus riuh.
Saking gandrungnya dengan influencer, entah itu barang, jasa, atau donasi akan diiyakan. Isu yang didorong pun sering dibantu viralkan. Karena influencer adalah sahabat dalam kesepian.Â
Ia mewarnai dan mengisi masa-masa sepi dan lelah di dunia nyata. Walaupun faktanya, kadang ketawa-ketiwi sendiri lihat YouTuber favorit ini sambil nongkrong bareng.
Jelas juga, tidak semua teman kesepian ini memberikan dampak positif. Dari mulai menginsinuasi kebencian sampai memprovokasi persekusi juga bisa dilakukan influencer.Â
Banyak juga influencer dengan pengaruh dan jejaringnya, menipu banyak orang. Kerugian finansial pun diderita.