Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngebet Viral, Akhirnya Merugikan

26 Januari 2023   12:53 Diperbarui: 27 Januari 2023   19:00 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media oleh Karolina Grabowska (pexels.com)

Menjadi viral menjadi keinginan tersubtil netizen. Postingan yang tanpa sengaja di-share kembali oleh selebritis, membuat hati bungah. 

Foto yang di-RT oleh figur publik tersohor membuat diri serasa orang penting. Video yang mendapat FYP dan ribuan heart membuat cita-cita menjadi selebTok makin nyata.

Beberapa orang ingin bisa terkenal dan menjadi selebriti. Media massa menjadi pilihan tepat mewujudkan hal ini. 

Jika dahulu radio dan televisi atau legacy media, lambat mewujudkan mimpi jadi terkenal. Media sosial sebagai salah satu new media, mempercepat cara dan platform untuk menjadi dikenal.

Dengan menggunakan topeng atau persona agar bisa terkenal. Atau juga memilih menampilkan diri dengan prestasi dan latar belakang masing-masing. 

Menjadi viral di satu sisi mudah didapatkan, tetapi juga dilupakan. Beberapa netizen bahkan melakukan hal diluar nalar karena ngebet viral.

Kasus ibu yang menyuapi anaknya dengan kopi sachet salah satu contohnya. Polisi dan Dinkes Gowa pun segera menangkap ibu yang memberikan kopi sachet kepada bayinya tersebut. Alasan si ibu melakukan hal tidak sehat kepada bayinya karena hanya ingin viral. 

Dan benar saja, video si ibu memang viral. Tanpa memikirkan dampak kepada bayinya, si ibu ngebet viral. Ibu ini mungkin juga tidak berpikir jauh dampak viral kepada dirinya sendiri. Baik dampak baik atau buruk.

Memahami informasi viral pernah saya bedah dalam tulisan saya disini. Namun fenomena ngebet viral si ibu menampilkan hal lain perihal viralitas di medsos dan dampaknya. Beberapa orang mungkin tidak menyangka postingannya viral. Dan sama sekali tidak mengantisipasi dampaknya.

Setidaknya ada beberapa dampak, terlepas baik atau buruk, jika postingan yang kita buat viral. Terlepas juga apakah viralnya karena disengaja dan tidak disengaja.

Pertama, dampaknya menjadi terkenal. Menjadi terkenal via viral mungkin menjadi impian netizen. Baik konten viralnya positif seperti tim Pandawara yang membersihkan selokan secara sukarela. Atau konten viral negatif juga si ibu pemberi kopi sachet ke bayinya. Pelaku atau pembuat kontennya menjadi terkenal.

Kedua, dampaknya menjadi subjek geledah netizen. Menggeledah disini adalah dicari tahu jejak digital pembuat konten viral. Tidak saja si pembuat, tapi kadang sampai keluarga, teman, sampai dengan tempat kerja. 

Bisa sangat merugikan jika kontennya negatif, dan sebaliknya. Untuk yang bekerja silahkan simak tulisan saya terkait etika bermedia sosial.

Ketiga, dampaknya membebankan pikiran. Secara psikologis, ada tekanan dari konten viral. Baik itu konten viral yang positif atau negatif, akan ada saja netizen yang julid. Membaca komentar negatif pada konten edukatif, misalnya, tentu dapat menggiring opini dan tujuan berbagi malah salah.

Keempat, dampaknya pada bejibun notifikasi. Bergilir suara notifikasi dari medsos menjadi dampaknya juga. Jika jarang sekali muncul, ratusan notifikasi membuat senang dan khawatir. 

Gembira karena menjadi terkenal via postingan. Khawatir karena takut ada komentar sumir. Membalas komentar juga memerlukan waktu dan kuota internet.

Kelima, dampaknya pada jejaring pribadi. Menjadi viral berarti jejaring pertemenan, keluarga dan keluarga bisa digeledah. 

Doxxing keluarga, teman, tempat dan rekan kerja menjadi ketakutan tersendiri. Apalagi jika konten bernuansa negatif. Jika kontennya positif, umumnya yang disorot adalah individual.

Keenam, dampaknya adalah pada ketagihan jadi viral. Konten viral menjadi candu bagi beberapa orang. Efek menjadi sorotan dan pujian bisa menjadi pendorong.

Netizen merasa tidak masalah jika konten viral yang akan dibuat lagi positif. Jika konten itu negatif, kadang amuk netizen bisa diluar dugaan.

Ketujuh, dampaknya pada jejak digital. Jika baik konten viral seseorang, jejak digital tidak perlu dicemaskan. Jika sebaliknya, tidak ada orang yang menginginkannya. 

Menghilangkan konten viral negatif sangat sulit di platform medsos sendiri. Apalagi jika sudah diangkat portal berita online. Alamat akan sulit mencari kepercayaan dan pekerjaaan.

Menjadi orang yang dikenal karena kebaikannya tentu menjadi keuntungan personal. Tapi tidak bagi mereka yang dikenal karena jejak buruknya. Medsos sebagai media konten viral bisa menjadi portofolio diri atau menjadi panggung juga pilihan kita masing-masing. 

Salam,

Yogyakarta, 26 Januari 2023

12:53 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun