Kasus komentator bulu tangkis India Open 2023 dari stasiun TV swasta menyulut amarah netizen. Netizen mengkritik cara ia memandu pertandingan yang cenderung cari sensasi belaka tanpa esensi. Dibalas lewat postingan IG, yang kini sudah hilang, yang mengatakan bahwa pencinta bulu tangkis Indonesia kampungan dan tidak berpendidikan.
Beberapa kasus lain non-etis bersifat pribadi yang merusak karier profesional sering terjadi di medsos. Yang belum lama, pemecatan pegawai salah satu kampus swasta di Bandung yang menghina Presiden Joko Widodo. Atau kasus pengiriman surat keberatan seorang Legal General Manager produk outdoor pria ke baberapa YouTuber dianggap konyol dan tak tepat sasaran.Â
Kasus supervisor yang mengomeli sambil memvideo karyawan magang karena tidak memberikan salam viral belum lama. Mungkin ia bermaksud mmberikan contoh buat pegawai magang lain, malah berujung diberi peringatan.Â
Kasus lain, niatnya curhat soal gaji di medsos, pegawai swalayan malah dipecat. Si karyawan lupa tidak mengaburkan atau menghilangkan nama swalayan ia bekerja.
Banyak lagi kasus-kasus yang melibatkan pekerja dan tindakan non-etis di medsos. Dari kasus ini imbas ganda pun terjadi. Pertama merugikan pribadi pekerja itu sendiri. Kedua mencoreng reputasi perusahaan atau kantor si pekerja. Tentunya, tim komunikasi publik yang menjadi ujung tombak akan ketar-ketir menemukan kasus yang menimpa rekan kerjanya.
Media sosial memang tidak pernah tidur dan sepi dari sensasi. Netizen pun tidak mungkin komentar nyinyir, cari lawan debat dan cari sensasi. Pun, jejak digital negatif kita dari 10 tahun lalu tidak mungkin hilang dan dilacak siapa yang telah menyimpannya. Hal-hal ini adalah fakta dan sulit diubah.
Pekerja memiliki medsos pun juga hak dan fakta. Sebaiknya juga perusahaan tidak melarang pekerja berekspresi via medsos. Sebelum memahami tips dan trik menjaga etika pekerja di medsos, kita kenali dahulu bagaimana medsos berdampak kepada para pekerja.
Perilaku salah dan khilaf karena persoalan pribadi, reputasi perusahaan dapat terdampak. Bisa karena memang tidak sengaja melakukan salah di medsos. Atau juga difitnah dan disebarkan orang lain yang tidak suka. Seperti kasus pejabat fintech yang melakukan KDRTÂ di Jakarta. Sigap, bekas perusahaan si pelaku langsung mengklarifikasi bahwa pelaku tidak lagi bekerja di sana.
Medsos profesional seperti LinkedIn menjadi rujukan awal mencari nama pekerja bermasalah di medsos. Platform populer lain seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter menjadi rujukan kedua. Netizen yang tahu tempat kerja seorang pekerja yang bermasalah biasanya akan 'bersilaturahmi' ke akunnya.
Kadang tempat kerja pun turut terseret kebringasan netizen. Biasanya netizen akan melakukan review bombing pada tempat kerja pelaku. Review bintang 4-5 di Google sangatlah penting sebagai penjamin kredibilitas.Â