Di era medsos, komunikasi publik dituntut lebih tahan banting dan tahan baper. Bahkan merasa was-was. Karena sekali berita viral negatif dari personil, brand atau kebijakan mereka meledak di media sosial.Â
Terjadi krisis komunikasi yang sebaiknya segera ditangani. Ketar-ketir mengawasi atau membuat alert atas trending tertentu menjadi fokus pekerjaan tim humas juga.
Contohnya, pada medio April 2022, KONI Lampung dituntut pembayaran bonus para atlet peraih medali di PON XX Papua 2020. Atlet senam ritmik asal Lampung posting Instagramnya berisi keluhan bonus yang belum juga diterima.Â
Atlet senam ritmik bernama Sutjiati Narendra, mengungkapkan bahwa dirinya belum menerima bonus usai meraih medali di PON XX Papua 2020.Â
Postingan Sutjiati viral dan masuk diwawancara Deddy Corbuzier, via kanal Close The Door. Sutjiati menyesalkan bahwa prestasinya kurang mendapat apresiasi dari para pejabat olahraga di Lampung. Setelah tekanan publik dan viralnya kasus Sujiati, konon kabarnya, di akhir bulan April bonus akan diterima para atlet.
Kasus Eiger yang 'sok ngatur' para konten kreator yang mereview produk mereka juga viral. Seorang YouTuber bernama Dian Widiyanarko mendapatkan surat keberatan. Surat ini keberatan atas review produk yang tidak sesuai aturan dari Eiger. Walaupun Eiger tidak memberikan kompensasi atau bahkan meng-endorse Dian.
Surat keberatan Eiger viral tersebar. Netizen menjadi julid pada Eiger dan segera menggeruduk tim legal Eiger. Sentimen negatif pada Eiger ini berdampak cukup besar. Karena ada kekecewaan fans Eiger atau istilahnya cancel culture. Walau beberapa waktu kemudian, ada klarifikasi dan permohonan maaf dari pihak Eiger.
Sentimen negatif pada viralitas sebuah instansi, merek, persona, dan kebijakan menjadi momok era medsos. Mitigasi krisis komunikasi salah bisa malah boomerang bagi citra komunikasi publik. Karena sejatinya citra menjadi sistem nilai fungsional dan emosional.Â
Nilai fungsional terkait tujuan dari citra tersebut. Fungsi emosional terkait awareness dan dampak citra pada seseorang.
Hal ini karena muatan emosi pada postingan viral sulit dibendung replikasi dan distribusinya. Jika strategi komunikasi publik cenderung kaku, tidak up-to-date, dan non-responsif memperburuk mitigasi. Apalagi jika akun medsos instansi pemerintah atau swasta yang cenderung berkomunikasi satu arah, self-promotion, dan sekadar countering.Â