Mungkin Anda sering menemui hal-hal berikut. Seorang rekan tidak pernah membalas chat WhatsApp. Punya teman baik di Facebook tapi tidak pernah sekali pun posting. Sering stalking akun Twitter mantan tapi terakhir nge-tweet 2 tahun lalu.
Dan ketika teman tadi membalas chat kita di WhatsApp. Teman baik tetiba posting fotonya saat liburan di Raja Ampat di Facebook. Dan muncul notifikasi Twitter, kalau mantan mencuitkan satu kata 'halo'.
Seketika kita pun akan membalas chat, memberi komentar, dan menggumam dalam hati. Kemana aja? Walau secara sekelabat dalam hati terbersit sangat subtil dan berucap di kepala. Masih hidup kamu?
Semakin terkoneksi kehidupan kita dengan dunia teknologi, semakin lesap diri seseorang. Eksistensi manusia diukur dari seringnya frekuensi mereka berinteraksi secara digital. Hal ini belumlah menjadi konvensi secara sosial. Tapi secara halus membisik dan menetapkan konsepnya ke dalam eksistensi kita.
Tidak online berarti tidak lagi dianggap berada atau mengada. Eksistensi manusia digital pun ditera dari tanda online di WhatsApp, postingan di Facebook, dan tweet random setiap hari. Sehingga esensi jarak dan waktu kian subliminal, atau bahkan superfisial di dunia siber.Â
Badan wadag atau fisik tidak lagi menjadi parameter keberadaan di dunia digital. Foto sudah mewakili penampakan secara fisik. Video mewakili gesture dan mimik seseorang. File audio menjadi pelengkap dari kehadiran secara online. Semakin sering frekuensi foto, video, dan audio ini dilihat maka inilah eksistensi. I post, therefore I exist.
Bertemu face-to-face adalah 'keajaiban' semu. Senang sekali bisa bertemu teman yang tak pernah balas chat WhatsApp. Lepas rasa rindu pada teman baik yang tak pernah posting di Facebook. Dan haru biru hati bertemu langsung dan ngopi bareng mantan setelah lama stalking Twitter-nya.
Semuanya semu. Karena saat duduk dan sekadar basa-basi ngborol. Sesaat smartphone mereka ada di tangan. Mereka sudah menjauhkan diri mereka dari orang di hadapan. Mereka kembali ke dunia digital.Â
Mereka akan melakukan hal ini. Sibuk membuat status WhatsApp menyinggung si yang paling-ga-pernah-bales-chat. Memfoto semua sudut dan pose bersama teman baik untuk di-post di Facebook. Membuat thread pengalaman mengasyikan bertemu lagi mantan, tanpa diduga.
Sembari obrolan jadi hambar, tengak-tengok ke smartphone terlihat. Mata pun melirik notifikasi yang otomatis terjadi. Pikiran pun melayang menunggu like, comment, share, heart, RT, dsb. Kehadiran fisik menjadi konsep belaka. Mengada perilaku, gesture, dan pikiran ke dunia digital menjadi bagian besar pertemuan langsung.
Bahkan tak jarang, kehidupan digital menjadi topeng yang sengaja dihiasi dengan baik. Terjadi modifikasi amelioratif kehidupan seseorang di dunia digital. Dengan kata lain berbohong tentang dirinya di dunia digital. Dan ini mungkin dan bisa dilakukan.Â
Menjadi sosialita dengan berpose sedang makan malam di restoran mahal. Mencari selfie terbaik di depan mobil mewah. Sampai mengenakan fashion branded terbaru sambil healing di lokasi eksotik. Semuanya tentu bisa di-Photoshop.
Sedang di kehidupan nyata, dirinya malah menyedihkan. Tidak ada orang yang mau melihat dirinya. Atau bahkan mengganggap dirinya ada. Bertemu wajah di kehidupan nyata malah menjadi musibah yang harus dihindari.
Eksesistensi kehidupan manusia dipeyorasikan menjadi indikator social gesture dunia teknologi. Mimpi eksistensi diri yang superior pun bisa diwujudkan secara online. Dunia online menawarkan kehidupan sebenarnya. Kehidupan yang memang diinginkan.
Orang yang bisa diajak ngobrol kapan saja, di mana saja, dan tentang apa saja. Bisa mendapat perhatian, sebaik atau seburuk apapun itu. Menjadi diri yang sesuai mimpi dan keinginan yang lebih baik dari kehidupan nyata.
Salam,
Wonogiri, 13 Januari 2023
11:50 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H