Begitupun mengadu dan playing victim di status WhatsApp. Atau memposting video kritik balik di TikTok. Tidak nyambung golok bawa Jaka Sembung. Tapi begitulah yang sering terjadi. Saling argumen atau kritik inter-platform medsos sulit menemui titik temu.Â
Banyak orang tidak menyukai kritik. Entah itu kritik pada perilaku, keluarga, harta, posisi, dsb yang kita miliki. Walau sebagian orang menyukai kritik. Karena kritik bisa jadi konstruktif. Namun jika kritik sudah dibuat publik, seperti di-posting di medsos, hal lain terjadi.Â
Kritik yang dipersepsi netizen seiring waktu akan hilang baik esensi maupun tujuan kritik. Karena jelas, banyaknya netizen mengindikasi multi-persepsi pada sebuah masalah. Ada yang mencoba memahami dan mencari latar belakang kritikan. Ada juga yang sekadar memperkeruh suasana, mem-framing, dan tak jarang mengadu domba.
Wajar memang kalau kita memiliki lebih dari satu platform media sosial. Alasan memiliki lebih dari satu platform medsos bisa jadi karena, jejaring pertemanan, bisnis, atau memang biar tidak bosan saja. Tapi mengapa seseorang lebih memilih untuk menjawab kritik, tuduhan, bahkan fitnah di platform medsos lain?
Faktor pertama bisa jadi karena tipe user medsos itu sendiri. Orang menganggap Twitter berisi orang-orang kritis, nyinyir, atau istilah kerennya woke. Sedang Instagram berisi user santai atau mereka yang kalau nyenggol baru julid. User TikTok adalah orang ingin cepat viral, ikut tren selalu, walau julidnya minta ampun.
Walau memang netizen julid tidak bisa dihindari dalam tiap platform medsos. Tapi seseorang yang menjawab kritik di Twitter di Instagram jelas paham benar tipe user. Bisa juga mereka memiliki pengaruh atau influence khusus di satu platform prioritas. Walau untuk menjaga reputasi digitalnya, mereka sering menengok medsos sebelah.
Faktor kedua, nuansa yang lebih nyaman untuk mengadu. Rasa nyaman ini jelas dipengaruhi faktor awal. Seseorang mungkin memiliki lebih banyak followers di medsos yang ia prioritaskan. Tak jarang, jumlah followers ini juga memberinya kuasa atau pengaruh kepada followers-nya.
Dengan jumlah dan pengaruh tentu menjadi cara mendapat dukungan moral. Misalnya jika kritiknya dipelintir seolah-olah ia menjadi korban atau playing victim. Untuk kemudian di-share di platform medsos prioritasnya. Lalu berharap viral sehingga netizen malah balik mendukungnya. Bisa saja dilakukan dan sering.
Faktor ketiga, memilih menghindar. Menghindar bukan karena tidak ingin berdebat. Dengan menjawab balik kritik di platform medsos lain, adalah sikap rendah diri. Ia juga mengira dan merasa pengkritik tidak memilik platform medsos lain, tidak follow, dan tak sepopuler dirinya. Padahal mungkin ada teman pengkritik yang memantau kritik yang belum terjawab di medsos lain.
Dengan begitu inter-connected diri kita semua. Juga dengan sembrono dan lalai seseorang terus memposting semua kehidupan pribadinya di medsos. Menghindar di platform medsos lain bukan menjadi pilihan. Jika ketahuan, perdebatan sengit dan konflik di dunia nyata bisa mungkin terjadi.