Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Metaverse Tak Lain adalah Medsos 2.0

1 Maret 2022   14:17 Diperbarui: 1 Maret 2022   18:54 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Virtual Reality oleh Tumisu (pixabay.com)

Istilah metaverse banyak didengungkan saat ini. Bahkan Presiden pun tak lupa menyinggung metaverse di sebuah pidato.

Saya sengaja menulis metaverse bukan Metaverse. Karena banyak orang mengaitkannya Metaverse mengacu kepada 'produk' dari Meta yang menaungi Facebook, Instagram, dkk. Padahal metaverse sendiri mengacu kepada konsep meta atau beyond dan (uni)verse. Walau konsepnya kini 'tersangkut' pada produk tersebut.

Sejak lama konsep metaverse telah ada, terutama di dunia gaming. Ada dua konsep metaverse yaitu sebagai sebuah wonderland dan kedua adalah amusement park. Konsep metaverse pertama sebagai sebuah wonderland virtual reality menganggap dunia virtual para orang (gamers) menjalani fantasi paling luar biasa.

Serupa tapi tidak sama, metaverse juga adalah amusement park dimana users berkunjung dan bertualang dalam dunia hiburan yang telah dimodifikasi developer game.

Konsep sebuah wonderland virtual bisa ditemui di gim seperti Second Life besutan Linden Lab. Second Life sendiri dirilis 18 tahun lalu. Dalam dunia virtual ini, semua orang bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Mereka bisa menjadi hal-hal diluar nalar sekalipun. Beberapa bahkan mengadakan kelas virtual sesungguhnya, sebelum kita semua melakukan kelas virtual via Zoom.

Sedang konsep metaverse amusement park (taman hiburan) telah dialami dalam MMO (massive multiplayer online), seperti PUBG atau Dota. Para users (gamers) dapat menyalurkan hobi mereka dalam berkompetisi dan berstrategi sebagai individu atau kelompok. Saat ini, MMO bahkan bukan sekadar hiburan semata. Kini banyak orang menjadi beralih menjadi pro-esport gamer.

Sedang secara fitur, metaverse memiliki identitas user tunggal. Karena metaverse adalah platform tertutup, user pun dapat dikenali karena kontennya. Hal ini mirip model aktualisasi diri di media sosial. Dan identitas tunggal ini menjadi pintu gerbang ke sejumlah besar fitur metaverse.

Walau kedua konsep dan fitur metaverse cukup berbeda, keduanya hanya menyoroti interface semata. Akan tetapi metaverse secara interaksi melampaui konsep dan interface.

Dalam metaverse, akan digunakan teknologi dan perangkat VR (virtual reality) dan AR (augmented reality). Karena konsep taman hiburan, yang digital sekalipun, terbatas. Hal ini karena fitur, interface, dan interaksi yang ditampilkan cukup sederhana. Tidak seperti platform media sosial.

Platform media sosial, sejauh ini, cukup bisa merepresentasi hakikat 'interaksi sosial'. Dengan fitur seperti like, comment, share, emoji, livestream, sticker, dsb interaksi antar pengguna cukup intens. Fitur interaksi media sosial macam ini juga akan diadaptasi ke dalam metaverse. Interaksi akan menjadi kunci dalam metaverse. Walau dalam gim simulasi seperti Second Life, fitur interaksi sosial sudah juga diterapkan.

Yang cukup kentara membedakan adalah sistem blockchain untuk cryptocurrency yang digunakan. Dengan crypto sebagai medium ekonomi, metaverse menawarkan konsep berbeda dengan media sosial. Cryptocurrency berbasis blockchain telah meleburkan perbedaan antara dunia digital dan fisik. Revolusi crypto yang didasarkan konsep Web 3.0 diciptakan pada tahun 2014 oleh pendiri Ethereum dan Polkadot, Gavin Wood. 

Konsep Web 3.0 berangkat dari kritik pada struktur Web 2.0. Daripada Internet (Web 2.0) dikuasai mogul teknologi seperti Meta, Google, dan Amazon dengan memonetisasi, mengumpulkan, dan mengeksploitasi data privasi secara sepihak. Web 3.0 menawarkan semua konten dan data user dikendalikan oleh komunitas individu yang terdesentralisasi.

Namun untuk saat terlalu banyak metaverse yang dikembangkan. Sehingga muncullah metaverse-metaverse yang tertutup satu sama lain. Tak jauh konsep, karakteristik, dan implementasinya seperti media sosial yang ada. Setiap metaverse akan memiliki user, interaksi, niaga, dan teknologinya masing-masing. Persis seperti media sosial dengan masing-masing fitur dan keunggulannya.

Metaverse kini dikesankan menjadi 'pelarian' dari kejenuhan media sosial dan internet. Padahal konsep, fitur, dan karakteristik yang dibuat mogul besar teknologi tak jauh bedanya dengan media sosial. Tawaran teknologi dan perangkat AR/VR, crypto, ditambah kebisingan marketing via medsos mengaburkan makna sesungguhnya.

Metaverse masih serupa dengan media sosial. Dan mungkin masih menggunakan Web 2.0. Singkatnya:

"Metaverse is a social media in steroid"

Salam,

***

Wonogiri, 1 Maret 2022

02:17 pm 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun