Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Media Sosial dan Perihal Manusianya

31 Januari 2022   12:04 Diperbarui: 3 Mei 2023   13:07 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggalangan dana @KoinKPK atau Peduli Prita menjadi contoh kolaborasi kolektif yang positif. Sedang kasus settingan Justice for Audrey membuktikan kejelian dan resiliensi netizen. Tetapi, pengeroyokan seorang ibu beragenda politis jatuhnya malah menjadi bumerang bagi pasangan Capres di tahun 2019.

Netizen juga cukup cerdas untuk dapat membedakan kasus viral didorong algoritma, bot atau buzzer dengan yang autentik. Karena mereka cukup jengah dan bosan dengan trending genre/artis musik atau tagar politis tertentu. Tapi trending kini masih tetap disesaki tagar genre musik karena fanatisme fans. Atau tagar berlabel isu politis norak dan nama politisi nirprestasi dibacking kampanye digital berbiaya besar.

Kerentanan Cross-Platform dan Moderasi

Satu kasus di platform medsos kini bisa menjalar ke platform lain. Kasus Gundam yang hari kemarin membuktikan pola cross-platform viralitas. Bukan saja platform berbasis community sharing semata seperti Facebook, Twitter, dan IG. Kini posting dari platform diskusi (Quora) dan kolaborasi (Wikipedia) bisa viral di platform lain. Karena toh setiap orang kini bisa memiliki lebih dari satu medsos.

Dislokasi dan anonimitas, seseorang bisa dengan mudah memviralkan satu kasus walau platform medsos berbeda. Karena saya yakin netizen akan senang jika postingannya bisa viral. Dengan syarat, keviralannya tidak melukai citra online dan offline dirinya sendiri. Peduli amat dengan kebenaran konten viral yang dibagikan.

Community guideline antar platform cukup berbeda. Jika Facebook memoderasi cukup baik pornografi, kekerasan, dan terorisme, hal ini tidak terjadi di Twitter, Telegram, atau TikTok misalnya. Netizen multi-platform dengan berbagai alasan dan cara akan tetap mencari cara agar postingannya viral. Walau menubruk CG platform media sosial.

Moderasi platform atau grup pun bukan soal mudah. Netizen dengan segala kebebasan di medsos bisa berbagi apa saja. Konten teror atau fetish di luar nalar mudah saja dibagikan dibalik anonimitas. 

Admin platform atau grup medsos tertutup bisa saja men-take down-nya. Tapi seberapa cepat, efektif, dan efisienkah? Jika sudah ada netizen mengunduh, menduplikasi, dan membaginya via akun lain dan platform medsos lain.

Bijak Bermedsos Saja Tidak Cukup, Resiliensi Jawabnya

Netizen bijak saat ini saya pikir lebih banyak memilih diam. Karena meladeni netizen multi-platform dan multi-perspektif menguras waktu, hati, pikiran, dan kuota. Jalan terbaik tetap memperhatikan dan menertawakan sembari mengkoreksi sisi negatif konten viral untuk diri sendiri.

Sekali waktu mungkin pernah netizen bijak ini ingin urun rembug membenarkan debat kusir komentar yang terjadi. Tapi alih-alih membubuhkan komentarnya, mereka lebih memilih men-delete-nya. Biarlah kasus negatif ini hilang sendiri seiring konten viral berikutnya, beberapa jam dari sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun