Karena kemudahan pengguna platform digital untuk mencari, meminta, dan menyebarkan informasi pribadi, memprovokasi kemarahan secara kultur dan politik pun mudah dilakukan. Wacana dan tanggapan sosial netizen seperti kecaman dan mendiskreditkan konten sangat bervariasi.
Aktivitas kolaborasi ini bisa menjadi bagian ketidakpercayaan publik atas sistem hukum yang berlaku. Secara implisit, main hakim sendiri pun menjadi bentuk ketidakpercayaan atas ketegasan pihak berwajib, seperti pada kasus korupsi. Di dunia nyata, memassa maling ayam juga menjadi praktik ketidakpercayaan publik pada hukum.
Jika di dunia nyata, main hakim sendiri minim hukuman secara pidana. Lalu bagaimana jika di platform digital?Â
Saat netizen bisa menjadi siapa saja dan apa saja. Netizen pun tidak dibatasi lokasi, waktu, dan akses. Seperti kasus seorang hater Ayu Ting Ting yang ternyata pelaku perundungan sedang bekerja di luar negeri.Â
Platform digital selain telah mengamplifikasi konsep main hakim sendiri (vigilantism). Ia juga telah memberikan inovasi vigilantism dengan konsep sayembara (bounty). Di waktu ke depan, digital bounty belum akan surut atau malah akan semakin sering dijumpai.Â
Bukan saja publik figur yang melakukannya, mungkin juga orang biasa. Atau yang lebih mengkhawatirkan, akan ada kelompok yang sengaja menjadi 'pemburu pelaku' di platform digital. Sebaiknya kita perlu tahu dan memahami dampaknya.
Salam,
Wonogiri, 17 September 2021
11:48 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H