"Ketika saya melihat ibu saya menangis. Disitu saya berpikir untuk berhenti seperti ini." Ungkap Jek seorang napiter.
Narapidana terorisme juga manusia. Itulah yang saya tangkap dari kisah para napiter yang ikut dalam diskusi kemarin. Bersama dengan beberapa konten kreator, saya mendengar langsung sisi humanis para napiter.Â
Kebetulan hadir juga mba Najwa Shihab sebagai founder Narasi TV. Beberapa pertanyaan kami ajukan kepada ketiga napiter. Salah satunya adalah Bang Jek, panggilannya. Ia adalah perakit bom pada kasus Bom Bali 2. Ia pun pernah bersama Dr. Azhari dan Dul Matin merencanakan beberapa pengeboman.
Bang Jek pertama kali mengenal kelompok radikal saat ia kuliah. Dalam halaqoh (liqo) kecil ini, Bang Jek banyak disuguhi imaji perang seperti di Palestina dan Afganistan. Bang Jek pun sempat pergi berjihad di saat kerusuhan agama di Ambon tahun 1999.
Sejak saat itu kiprahnya dikenal luas di kalangan jihadis. Dan yang paling ia ingat adalah tragedi Bom Bali 1 di tahun 2002. Karena ia menganggap telah dapat membalaskan dendam saudara-saudara Muslim.
Sampai akhirnya Bang Jek diamankan oleh polisi. Hingga menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Dan di dalam penjara, ia merasakan benar-benar menyesal. Dan salah satunya ia ungkap adalah ketika melihat sang ibu menangis.
Sedang napiter lain juga menyesal telah melakukan tindakan teror. Ia sempat menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Penjara yang ia huni pun berpindah-pindah. Sampai yang terakhir ia menjalaninya di Nusa Kambangan.
Dan yang membuat ia akhirnya memilih keluar dari kelompok teror adalah sang istri. Menurutnya, sang istri sudah sangat sabar menunggunya menjalani masa hukuman. Dan ia akhirnya menetapkan hati untuk berhenti menjalani teror.
Napiter lain ditangkap polisi karena menyimpan senjata dan amunisi. Selama dalam kelompok radikal ini, ia hidup berpindah-pindah. Dalam ketakutan ia mencoba mencari kehidupan. Ia sempat ke Jakarta dan mengajarkan silat untuk anggota kelompoknya.
Dari ketiga napiter yang berdiskusi, hanya satu yang mereka minta. Yaitu bisa kembali ke dalam masyarakat. Karena mereka tahu kesalahan mereka sangat fatal kepada publik. Terutama menurut mereka, adalah menghidupi keluarga mereka.
"Menyentuh dan memahami sisi humanis para napiter adalah kunci deradikalisasi." Jelas pak Irwan.
Permasalahan radikalisme sampai terorisme memang masalah pelik. Apalagi saat ini banyak sekali warga negara Indonesia di Suriah yang ingin kembali. Para eks-kombatan ini tentunya memiliki sisi humanis. Dan pemerintah perlu memahami cara yang lebih humanis dalam deradikalisasi.
Mba Najwa Shihab juga mengungkap, bahwa ISIS dan JAD berbeda dalam banyak hal. Ketika JAD masih merasa tidak perlu menyerang sesama Muslim. Namun kelompok ISIS dibawah Abu Bakar Baghdadi menghalalkan darah Muslim yang berbeda dengan kelompoknya.
Mendengar dan berdiskusi cukup panjang dengan para napiter membuka mata saya. Dibalik aksi tak berkeprimanusiaan mereka. Ada sisi humanis yang patutnya tidak kita lupakan.Â
Ajaran, pemahaman, dan tindakan mereka yang salah adalah hasil dari indoktrinasi. Namun, dibalik itu semua ada nurani yang para napiter punya.
Pak Irwan juga berpesan, agar kita memahami sisi humanis. Dan mau merangkul kembali mereka daripada menjauhi. Karena jika ada isu atau kerusuhan SARA, bukan tidak mungkin eks-kombatan ini bisa bertindak kembali.
Karena skill yang mereke pelajari, seperti merakit bom, menembak, dan membongkar senjata tidaklah hilang. Namun ketika para napiter kebali ke dalam masyarakat. Maka perlakukan dan pandang mereka menjadi bagian dari kita bersama.
Dan kini Bang Jek sudah menjalani kehidupan normal sebagai anggota masyrakat. Ia bahkan mendirikan Yayasan Gema Salam di Solo. Yayasan ini bergerak dalam banyak hal, terutama menjadi tempat rekan-rekan napiter yang ingin kembali.
Salam,
Solo, 22 Februari 2020
01:46 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H