Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

WhatsApp yang Mengajarkan Kita Bersikap Apatis dan Asimpatik

12 Februari 2020   19:18 Diperbarui: 13 Februari 2020   11:39 4419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mannequin - Foto: pixabay.com

Berjejer notifikasi hijau menghiasi WhatsApp (WA) kita setiap hari. Dari sekian banyak wajah dan grup WA, yang mungkin kita buka hanya 3 chat teratas. Untung saja WA menyediakan fitur 'pinned chat'. Walau hanya 3, setidaknya kita tahu chat prioritas.

Saya mengunduh WA sejak awal dirilis. WA menjadi aplikasi chat yang benar-benar baru dan sangat sederhana. Hanya barisan chat yang muncul karena kita simpan nomor kontak seseorang. Tanpa iklan. Dan sangat melindungi privasi. 

Filosofi Jan Koum dan Brian Acton cukup sederhana saat pertama kali mencetuskan WA. Dalam selembar kertas tertulis "No Ads! No Game! No Gimmicks!". Sejak IPO di 2014, WA menjadi aplikasi chat yang paling digandrungi. Apalagi di Indonesia.

Aplikasi WA menempati urutan ke 1, sebagai aplikasi free terpopuler di India. Sedang di Indonesia, menempati ke 3. Dengan Australia menempatkan WA di urutan ke 6. 

Maksud dari peringkat ini adalah, di kawasan Asia Pasifik WA masih sangat populer. India sendiri saja memiliki populasi 5 kali Indonesia. Ditambah populasi Australia yang hanya 1/10 Indonesia. Maka jumlah pengguna WA rerata di kawasan ini cukup banyak.

Peringkat WhatsApp di 3 Negara - Tangkapan layar: Dashboard AppAnnie pribadi
Peringkat WhatsApp di 3 Negara - Tangkapan layar: Dashboard AppAnnie pribadi

WA tidak begitu populer di negara-negara Barat. Namun masih berada dalam peringkat 20 besar aplikasi terpopuler. Popularitas WA hanya menempati urutan ke 13 jauh di bawah Messenger (8) di US. Di Jerman, WA menempati urutan ke 10 dan berada di urutan ke 6 di UK. 

Secara global, bisa dibilang WA menjadi aplikasi chat primadona. Dengan kesederhanaan dan keamanan privasi P2P (peer-to-peer) encryption. WA sangat membantu komunikasi, interaksi, dan bisnis.

Namun di balik popularitas dan kesederhanaan, ada sisi gelap WA yang wajib kita tahu. Sejauh pengamatan saya, WA mengajarkan kita untuk bersikap apatis dan asimpatik.

Apatis atau masa bodo dalam menyikapi informasi. Jika kita lihat dan amati grup WA (WAG), kita bisa tahu. Begitu banyak informasi yang dibagi. Begitu banyak obrolan yang terjadi. Entah durasinya tiap jam sampai ke detail setiap detik. Pasti akan selalu ada notifikasi chat WA di ponsel kita. 

Tetapi, ada berapa banyak informasi, chat, atau obrolan yang kita tanggapi atau balas? Ada berapa banyak foto yang mau kita unduh? Ada berapa banyak tautan (link) yang mau kita buka? Atau bahkan, ada berapa chat yang sebenarnya kita buka?

Limpahan informasi yang kita dapat dari beragam aplikasi, membuat kita jengah. Jika tidak ada teman dalam WAG yang me-mention kita. Jika tidak ada japri dari orang yang kita hormati atau sayangi. Kita urung berinteraksi dengan membalas, membaca, atau bahkan membukanya.

Asimpatik menjadi 'kembar siam' apatis di atas. Kita menjadi cuek dan kadang tidak peduli. Bukan berarti sikap ini menjadi sebuah generalisasi atau pukul rata pengguna WA. Namun, beberapa aspek membuat kita menjadi atau setidaknya mendekati sikap asimpatik.

Catatan Awal Brian Acton untuk WhatsApp yang Ditujukan ke Jan Koum - Foto: nextshark.com
Catatan Awal Brian Acton untuk WhatsApp yang Ditujukan ke Jan Koum - Foto: nextshark.com

Seperti fitur WA yang memungkinkan dua tanda centang tidak berubah biru. Karena dua centang biru berarti pesan kita sudah dibaca. Fitur ini hanya memunculkan dua centang abu-abu. Yang berarti pesan sudah diterima dan belum dibaca. Walaupun orang yang kita chat sedang ngobrol di WAG yang kita tahu, misalnya.

Ada contoh lebih ekstrim lagi. Ada aplikasi mod (modifier) yang memungkinkan pesan yang kita baca tetap satu centang abu-abu. Dengan kata lain, jika orang yang menggunakan app mod macam ini. Chat yang kita kirim akan menunjukkan centang satu abu-abu selama apapun. 

Dengan kata lain, ia tidak menerima chat kita. Dengan asumsi yang kita pahami, ia berada di luar jangkauan internet/ponsel dalam flight mode. Kadang alibi yang digunakan adalah demi privasi.

Ketika chat yang kita kirim begitu penting, mendesak, atau personal. Mendapati satu centang atau dua centang abu-abu cukup mengecewakan bukan. Karena mindset kita begitu lekat (hardwired) pada teknologi. Kita pun menjadi begitu resah dan gelisah menanti balasan chat WA.

Tindakan apatis dan asimpatik di WA ini tidak berarti mencerminkan sikap dan kepribadian kita di dunia nyata. Bisa jadi, karena terlalu banyak kontak dan WAG yang berkerumun di ponsel. Pilihan menjadi apatis dan asimpatik menjadi prioritas.

Karena WA pun memiliki konsekuensi logis dan psikologis yang tidak kita tahu. Seperti kita merasa bekerja 24 jam selama 7 hari via WAG tempat kita bekerja. Kita menjadi lelah memantau atau menanggapi isu politik yang tiada habis di WAG atau japri. Atau kita sudah merasakan tech blues. 

Ada kebutuhan mendesak kita untuk tidak terlalu lama ngobrol chat via WA. Bertemu muka atau kopi darat menjadi aktivitas yang kian penting, walau kini langka. Atau kita alihkan fokus dan aktivitas di sosmed dengan melakukan kegiatan fisik.

Saat WA mempersempit jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Dampak terselubung dari dislokasi kita dengan orang lain adalah sikap apatis dan asimpatik. Teknologi memang mendekatkan yang jauh. Namun secara bersamaan menjauhkan kedekatan emosional dan personal.

Salam,

Wonogiri, 12 Februari 2020
07:16 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun