Tidak ada yang salah dengan perilaku ini. Sama normalnya dengan menjadi TKI. Namun, yang kita patut pertanyakan adalah apa benar masih ada konsep nasionalisme murni yang kita anut dan pahami?
Dan pemurnian konsep nasionalisme kini dipraktikkan pemerintahan Jokowi. Namun konsep nasionalisme yang dipraktikkan cukup mengkhawatirkan.Â
Apa yang kini dipraktikkan Jokowi dan jajaran menterinya, dengan buzzword NKRI Harga Mati yang ramai beredar ketika kampanye. Lalu kabarnya muncul propaganda disinformasi anti-Papua Merdeka.Â
Gejala hiper-nasionalisme terlihat lamat-lamat dalam cakrawala pandang masyarakat.
Sedang publik masih sibuk dengan konsep halal kelokalan. Walau padahal konsep ini sudah menjadi standar global. Atau publik yang masih sibuk dengan maraknya isu SARA. Dimana praktik intoleransi dari mulai melarang peribadatan sampai pembakaran rumah ibadah terjadi dan terulang.
Celana cingkrang dan cadar pun menjadi concern berlebihan jajaran petinggi negara ini. Tindakan kuratif dengan melarang yang kini dilakukan digaungkan dengan nada penegakan disiplin dirasa kurang tepat.
Sedang pada taraf pendidikan karakter dan nasionalisme bangsa ini masih terkatung-katung tanpa arah. Karakter nasional apa yang bisa dirembuk dari ratusan budaya dan tradisi yang dimiliki bangsa ini?
Sedang konsep kebajikan global begitu tidak sinkron dengan apa yang siswa hadapi di sekolah dan di rumah. Berpikir kritis dan diskusi misalnya. Bukan menjadi kebiasaan yang sering kita temui bahkan di kelas.Â
Sedang dalam 90 menit pertemuan siswa dengan civic education. Apa mungkin menjadikan generasi muda Indonesia bangga menjadi Indonesia. Karena sejauh ini, kebanggaan menggempita hanya saat gelaran pertandingan olahraga nasional/regional/internasional saja.
Maka...?
Bangsa kita sudah terikat kuat dalam jejaring global dunia teknologi. Demokrasi terkoyak di sana-sini. Sedang Indonesia kini sibuk memperkuat nasionalisme.Â