Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasib Nasionalisme dalam Dunia Hiper-Konektivitas

10 Desember 2019   00:53 Diperbarui: 10 Desember 2019   08:22 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Network oleg Geralt Altman - Foto: pixabay.com

Aturan tegas dalam GDPR masih belum mampu mengurangi pun mencegah ekses negatif dunia digital yang masih terjadi.

Indonesia dengan ratusan juta users berada di perlintasan kelindan peliknya efek dunia digital. Ketika aturan pada dunia digital diperketat. Imbasnya pelambatan ekonomi digital sampai lemahnya inovasi dan produk rintisan bangsa sendiri. 

Di sisi lain, ekosistem ekonomi seperti ini tidak baik. Ratusan miliar duit rakyat Indonesia pergi ke luar negeri tanpa dipajaki dengan fair. Belum lagi potensi iklan yang dipasang korporasi dan individu di platform sosmed yang uangnya pun masuk ke rekening mogul teknologi.

Apakah Kamu Cinta Tanah Air?
Jika kita bertanya ke ASN apakah beliau kamu cinta Indonesia? Sudah barang tentu akan muncul jawaban afirmatif. Begitupun pada kita semua yang bisa jadi beragam jawabannya. Mulai dari mengangguk sampai bertanya kembali dengan sarkas dapat mungkin muncul.

Mencintai kelompok atau tribalisme menjadi insting manusia. Cinta ini biasanya ditunjukkan dengan loyalitas dan kinerja untuk mencapai tujuan bersama. Dari mulai ingin menjadi bagian sebuah keluarga, kelompok, organisasi, sampai konsep negara. 

Semua orang ini dicirikan pada sebuah entitas kelompok. Begitupun menjadi Indonesia.

Namun kini, kita patut merefleksikan kembali konsep nasionalisme seperti pertanyaan Harari di atas. Dengan ekosistem informasi dunia digital yang begitu lekat dengan kita. Banyak orang mungkin akan membandingkan negeri sendiri dengan negeri orang lain. 

Peribahasa lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang menjadi omong kosong.

Dengan melengkapi persyaratan administrasi, kita bisa menjadi warga negara manapun. Para akademisi yang sekolah di luar negeri yang akhirnya tidak pulang. Karena memilih kenyamanan finansial dan akademik negara asing yang baik. 

Atau hampir setiap hari ada TKI yang dikirim ke negara asing mencari dollar atau real. Pun sebaliknya, negara ini juga menerima TKA dengan membatasi jumlahnya. Secara politis dan ideologis pun, orang Indonesia bisa memilih menjadi pejuang khilafah di banyak negara Timur Tengah atau Afrika.

Secara subtil perilaku mencintai negara lain juga kita lakukan. Dari mulai perasaan superior memiliki barang impor. Juga menjadi paling populer karena sering traveling ke luar negeri. Sampai memiliki pola pikir, attitude, dan gaya bicara ke-Barat-baratan menjadi kebanggaan banyak orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun