Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita, Novel, dan Gaung Asumsi para Buzzer

8 November 2019   08:37 Diperbarui: 8 November 2019   15:28 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polarisasi yang terbentuk dan dijaga di linimasa menggiring kita menjadi "pemesan buzzer". Pemetaan Drone Emprit menjadi ilustrasi dasar yang kita ketahui soal polarisasi. Media-media ( yang kita duga) hiper-partisan pun nyaman menunggangi polarisasi dan sentimen di linimasa. Ditambah algoritma terpersonalisasi (filter bubble) mengungkung perspektif oposisi sekadar informasi tanpa arti.

Bisa jadi komentar akun buzzer di posting atau berita mengundang anggukan pertama kita. Dilingkupi rentang sempit perspektif ruang gema (echo chamber) pribadi di linimasa. Komentar kontra, caci maki, sampai doxxing adalah yang kita cari.

Sebagai contoh lain. Mungkin tak terbesit buruk sangka melihat tragedi penusukan Menkopolhukam Wiranto sebagai sebuah "settingan". Namun hati akan seolah mengiyakan saat ada saja yang berkomentar demikian.

Karena kita takut membayangkan postingan/komentar diri sendiri menjadi viral. Mempostingkan buruk sangka seperti di atas oleh seorang anggota Persit bisa menghancurkan karir sang suami. Apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Dan akan cukup merana saat menghadapi komentar julid netizen.

Berkat buzzer-lah, kita ramai-ramai bisa mengutarakan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan sendiri. Buzzer bak seorang terapis yang mau mengartikulasi keinginan terdalam dan tergelap kita di linimasa. 

Propaganda klandestin buzzer dapat mengungkap hal di bawah sadar menjadi maujud atau nyata. Atau dalam istilah Freud disebut transference.

Menuduh bahkan melaporkan Novel atas rekayasa penyiraman kepada dirinya sendiri memang tak masuk akal. Sudah cacat secara logika dan etika. Namun buzzer memberikan efek terapeutik pada keinginan terselubung beberapa pihak yang kontra pada KPK. 

Dengan sistematisasi ratusan sampai ribuan akun memposting dan berkomentar yang sama dan berulang. Buzzer menggelitik keinginan tersebut untuk mendapatkan efek remedial pada gundah (baca: buruk sangka).

Saat kita turut meramaikan sebuah postingan dan menaikkan sebuah tagar. Aktivitas inilah yang menjadi target utama buzzer. Walau secara tidak sadar, buzzer pun menjadi terapis jiwa-jiwa yang memiliki keinginan subversif dan kontradiktif. 

Salam,

Wonogiri, 08 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun