Kita seolah ditipu mentah-mentah. Kuasa (kembali) adalah tentang kompromi dan lobi elitis. Langkah-langkah demokratis memilih pemimpin di Pemilu sudah menguap urgensi, tragedi, dan esensinya. Toh, Prabowo kini diangkat menteri Jokowi.Â
Namun toh, ada baiknya melihat segala sisi hal ini. Ada sisi positif yang terbersit. Prabowo dan Jokowi sedang memfilter kembali gerbong politiknya. Orang-orang yang dulu dianggap penumpang gelap tentu gerah. Saat ada yang gerah, disanalah berkumpul para perisak sesungguhnya negeri ini.
Tidak ada Pemilu yang sempurna. Pemilu pun bukan soal pihak mana yang kalah atau menang. Tetapi memilih pihak dan sistem yang bisa menjalankan amanat rakyat. Karena siapa pun yang terpilih akan menjadi nahkoda pemerintahan negeri ini. Seburuk apapun kepemimpinannya.
Namun toh, tidak juga harus Pemilu menjadi aksi tipu-tipu berdemokrasi. Lawan politik kemarin serupa sandiwara empat babak. Saat pertikaian online dan offline usai. Lingkar orang berkuasa kembali berkelakar mencari kursi nyaman, kembali.
Yang rugi adalah rakyat Indonesia. Polarisasi publik dibentuk. Lalu dipelihara. Untuk kemudian dibenturkan. Semua untuk mengglorifikasi kontra narasi di Pemilu. Ini adalah keculasan yang kini dibaptis dengan euforia. Meluapkan untuk melupakan.
Di Pemilu 2019 lalu, publik dibuat berseteru dengan bayangannya sendiri. Ribuan akun dibuat seolah-olah berdebat mencari kebenaran. Saling mencaci jika junjungannya dimaki. Bahkan dua pria Madura berduel karena beda pilihan Capres. Salah satunya orang tewas.Â
Dipenjara karena sebar hoaks soal Pemilu juga ada. Dan yang paling diingat dan terus menjadi referensi kita adalah hoaks dari Ratna Sarumpaet. Demi kuasa, seorang ibu yang mencari cara menjadi cantik ditumbalkan. Ia menjadi korban gelagat dan skenario jahat gerbong oposisi (dulu).
Dan yang paling menjadi tragedi, adalah kematian 500 lebih petugas KPPS. Pemilu 5 kotak dengan polarisasi politik yang ekstrim kemarin adalah kelalaian. Mirisnya, masih saja ada konspirasi culas bernarasi para petugas ini mati diracun. Sebegitu picikkah bentukan fanatisme pada Capres.Â
Para korban tragedi Pemilu ini kini terlupakan. Atau sengaja dilupakan. Saat ada jabat tangan Prabowo dengan Jokowi. Plus kabarnya ada jatah 3 menteri tambahan untuk Gerindra yang merupakan gerbong oposisi (dulu).
Maka, esensi Pemilu untuk menjalankan amanat demokrasi menjadi keruh. Jika pada akhirnya pihak berseteru bisa berkompromi mencari posisi. Jika rakyat pada akhirnya kembali ke tempat tidur dan menyadari. Buat apa ia keluar dari grup WhatsApp keluarga bila jadinya seperti ini.Â
Tidak bermaksud menganalogikan frontal. Jika kemenangan Golkar di era Orba bukan jadi rahasia bahkan menjelang Pemilu. Jadi apa Pemilu 2024 nanti sudah bisa dipastikan kubu yang menang adalah mereka yang berkompromi?