Diadaptasi dari presentasi Angela Romano (2019)
Berpikir kritis menjadi kecakapan fundamental hidup sejak lama. Kini, menjadi lebih penting lagi. Di era disrupsi teknologi, informasi membanjiri linimasa sosial media kita. Sayangnya, banyak orang yang mudah jatuh ke dalam informasi menyesatkan.Â
Jika dahulu mungkin mempertanyakan sebuah informasi. Namun akan cukup sulit dan lama mendapat feedback memadai. Apalagi saat arus informasi dikuasai dan dimonitor otoritas seperti media, militer, atau pemerintah.Â
Suasana di atas berbeda kini. Semua orang kini bisa mendapat informasi dari beragam sumber. Melalui sosial media, kita pun bisa mendapat jawaban atau respon relatif cepat dari media, militer, atau pemerintah.Â
Konsekuensinya, critical thinking di era digital berbeda. Berpikir kritis di era digital akan meliputi: mengamati informasi, mengecek fakta, dan memberi koreksi kelaikan.Â
Tips sederhana saat menerima berita atau informasi adalah 7 seconds stop. Dalam 7 detik, bacalah judul dan 2 paragraf awal sebuah berita/posting.Â
Jika berisi sensasionalitas dan kejutan lain ada potensi kontennya menyesatkan. Kemudian lihat sumber informasi/posting tersebut. Apakah berasal dari sumber atau akun terpercaya.
Ada baiknya, informasi yang berpotensi sebagai hoaks di cek faktanya. Mengecek fakta atas informasi menjadi kian penting kini. Secara global, organisasi cek fakta cukup banyak. Seperti Poynter, Snopes, Politifact. Sedang di Indonesia, kita bisa mengacu pada Mafindo.
Fakta menjadi entitas yang kian sulit didapat. Dengan media sosial, banyak pihak mendaku informasi yang dibawanya sebagai kebenaran. Bantahan yang diberikan akan dilabeli dengan teori konspirasi. Sering pula, mengumpat dan menyerbu dengan troll dan bot dilakukan beberapa pihak.
Perilaku di atas menghormati Rights atau hak kebebasan berpendapat. Dari pilar digital Respect pun, perilaku ini tidak menerima perbedaan argumen. Dan terutama, perilaku ini pun tentunya menyalahi pilar digital lainnya juga yaitu Responsibility.
Setelah fakta kita dapatkan. Maka informasi hoaks tersebut baiknya berhenti di kita. Dengan mencegah lebih jauh, kita klarifikasi faktanya melalui akun sosial media kita. Memberikan koreksi pada di penyebar postingan salah juga dapat dilakukan.Â
Yang lebih penting pada Reasoning dalam mengecek fakta adalah untuk diri sendiri. Saat kita secara pribadi bisa mengamati berita dan mengecek fakta. Kita pun mencegah distribusi hoaks menyabar lebih luas.Â
Di Indonesia sendiri, berpikir kritis kurang diajarkan di bangku sekolah. Dimana nilai dan ranking menjadi acuan. Mengembangkan critical thinking diperlukan pendekatan holistik. Dari mulai penguatan sumber daya guru dan sekolah. Sampai pengembangan kurikulum sampai silabus.
Pemerintah Australia yang giat menggerakkan literasi digital patut dijadikan contoh. Dari mulai sekolah yang menggiatkan keamanan digital untuk siswa dalam sekolah. Sampai dengan peran perpustakaan sebagai digital hub orang-orang tua. Hanya sebagian contoh dari best practices yang bisa diterapkan di Indonesia.
Salam,
Sydney, 04 Oktober
02:14 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H