Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Privasi dan Sosial Media, Isu Seksi Tak Terdefinisi

27 Juli 2019   19:12 Diperbarui: 6 Mei 2022   05:56 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradoks dalam pikiran kita muncul saat menyandingkan sosial media dengan isu privasi. Jika platform sosial media beresensi 'berbagi'. Lalu mengapa banyak yang ribut dan mempermasalahkan isu privasi yang 'tertutup'.

Otoritas Spanyol AEPD mendenda Facebook USD 1,44 juta di tahun 2017. Facebook didapati mengeksploitasi data users untuk iklan. Di tahun 2018, Uni Eropa juga mendenda Facebook USD 1.63 miliar atau 4% dari revenuenya. Facebook disangkakan telah membocorkan 50 juta data penggunanya. Di tahun 2019 UpGuard, sebuah firma security, menemukan potensi kebocoran data dari 540 juta pengguna Facebook. 

Pada Mei 2019, sekitar 49 juta pengguna Instagram terbuka pada salah satu server Amazon-nya. Mulai dari nomor telepon, lokasi, sampai email users bisa mudah diakses publik. Di bulan yang sama, spyware rakitan firma di Israel diduga diinjeksi ke dalam WhatsApp hanya dengan mengangkat nomor telepon asing. Invasi privasi ini merekam riwayat telepon, SMS, dan data yang tersimpan di ponsel pengguna.

Tidak platform sosial media yang mencederai privasi penggunanya. Sampai Mei 2019, banyak jasa, e-commerce, cloud computing, sampai situs pemerintah rentan terkena invasi privasi.

Platform sosial media yang konten mayoritasnya adalah users-generated. Tentu tidak akan hidup tanpa dinamika penggunanya. Dengan pernyataan S&K yang disetujui pengguna pada awal pembuatan akun sosmed. Pengguna menyerahkan trust atau kepercayaan atas kerahasiaan data pribadi.

Data ini diberikan pengguna seperti nama lengkap, alamat, lokasi, preferensi seksual, dsb. Sampai artis favorit, hobi, lokasi, pilihan bahasa. Plus, algoritma yang memonitor perilaku pengguna sosmed juga merangkum privasi kita seperti; perilaku membeli, pilihan politik/ideologi, agama, atau sesederhana rekomendasi pertemanan.

Data yang secara sukarela diberikan. Atau pun yang secara algoritmik dimonitor. Data pengguna yang dikumpulkan umumnya dikomunikasikan (kadang dijual) kepada pihak ketiga. Baik itu untuk analisis demografi pengguna, akses kepada konsumen potensial, sampai penipuan finansial. 

Kebocoran data pengguna karena kelalaian teknis platform. Atau yang memang diteliti secara ilegal pihak lain untuk memetakan pengguna platform sosmed tertentu. Memposisikan pengguna sebagai konsumen atau prospektif.

Salah satu invasi privasi yang cukup signifikan dampaknya adalah skandal Cambridge Analytica. Dengan lebih dari 80 juta pengguna yang terkspos privasinya. Invasi ini dimulai dengan aplikasi quiz pihak ketiga yang disematkan ke dalam Facebook. Yang pada akhirnya diduga memetakan pemilih dan menggiring opini preferensi politik mereka.

Yang juga sering umum terjadi akibat invasi privasi antara lain scamming dan phising. Para scammer yang mendapat adta pengguna seperti email, akan dapat meretas informasi finansial. Dengan menyisipkan spyware phising via gim atau aplikasi berbahaya di sosmed data finansial juga bisa diretas dan diperjualbelikan kembali. 

Facebook Users oleh Michael Ramirez - Ilustrasi: gocomics.com
Facebook Users oleh Michael Ramirez - Ilustrasi: gocomics.com
Pengguna bukan saja diingkari rasa percayanya pada platform sosmed. Namun mengizinkan pihak lain mengeksploitasi secara komersil, politis, bahkan subversif adalah mengingkari esensi privasi itu sendiri.

Yang patut dipersalahkan pada isu pelik ini juga cukup rumit. Jika secara teknis platform pun rentan pada peretasan atau hacking baik secara masif maupun inkladestin. Potensi big data pengguna yang bisa dieksploitasi dan diperjualbelikan secara ilegal cukup besar. 

Perilaku pengguna yang teledor saat login atau begitu saja menginstall gim/aplikasi. Ditambah ketidaktahuan dan ketidakpedulian soal isu privasi. Kian menjadi problema tersendiri isu privasi. 

Maka mendudukkan makna 'sosial' pada sosial media dengan ruang privasi begitu elusif. Jika linimasa adalah lalu lintas interaksi antar pengguna dengan platform sebagai pengawasnya. Dari lalu lintas ini, pihak lain juga melihat potensi eksploitasi 'ruang terbuka' linimasa ini.

Mengandalkan platform mengawasi potensi invasi privasi bukan pilihan prioritas pengguna. Akhirnya penggunalah yang wajib peduli, paham, dan mengajarkan pentingnya privasi, batasannya, dan kerugian yang bisa timbul.

Akan ada mayoritas pengguna yang urung bersuara atau peduli. Karena bisa jadi mereka memahami adagium 'kesosialan' di dunia sosmed. Karena hanya orang-orang jahat yang merahasiakan sesuatu. (?)

Namun masih akan tetap ada banyak pengguna sosial media khawatir dan peduli pada invasi privasi mereka. Bukan karena merasa rikuh karena kerahasiaan personal. Namun, invasi privasi bisa berdampak pada ancaman siber, pemerasan finansial, sampai perisakan citra.

Tinggal kini, bagaimana pengguna sosmed memilih faksi. Mereka yang abai atau mereka yang acuh. 

Salam,

Wonogiri, 27 Juli 2019

07:11 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun