Saya akui, sudah jarang menulis rutin di Kompasiana. Banyak aktivitas, dulu bukan alasan saya menunda menulis. Yang saya rasa kini, ada dilema dalam menulis.
Antara menulis yang penting. Atau yang penting menulis.
Fokus tulisan saya sebenarnya banyak berfokus ke dinamika dunia digital. Dari pernak-pernik hardware, software. Sampai urusan misinformasi, perundungan siber, atau tribalisme digital.
Namun, tak jarang ada kalanya menulis ya hanya untuk menulis. Agar tidak kaku jemari mengetik wacana menjadi aksara. Agar tidak punah juga narasi menjadi mimpi.
Menulis yang penting yang saya tangkap dari Kompasianer lain berfokus pada:
- Info dan berita aktual  figur yang menyedot perhatian publik. Contoh yang terbaru seperti kasus ijazah S2 dan S3 komedian gaek Komar.
- Berita yang mengundang kontroversi atau pro dan kontra. Yang masih hangat adalah peliknya kebijakan zonasi sekolah, terutama SMP dan SMA.
- Isu politik yang menggelitik, terutama soal Pilpres. Saya pun sesekali menulis isu politik dan kepemimpinan bangsa seperti perpindahan ibukota.
- Fiksi, baik puisi dan prosa yang ditulis baik dan 'berjiwa'. Dan disini, sudah bisa dilihat siapa penulis kanal fiksi yang dinanti karyanya.
- Yang penting menulis pun bukan berarti tulisannya tidak bagus. Tulisan yang iseng-iseng dimulai akan berkembang menjadi tulisan yang serius dan penting.
Seperti tulisan saya menyoal sakit Influenza di masa depan. Karena kebetulan saya sakit flu. Dan membayangkan masa depan orang yang mencoba pulih. Ternyata banyak referensi menyoal inovasi medis masa depan. Bagaimana dokter pun bisa digantikan robot.
Tidak ada tulisan yang tidak penting. Karena menulis serupa memahat mahakarya patung. Rangkaian kata yang tidak koheren sulit tersampaikan maknanya. Apalagi jika fokus tulisan melebar dan menjauh kemana-mana.Â
Berbeda dengan tweet atau postingan di sosial media. Kadang tanpa rasa dan karsa pada saat mem-postingnya. Menuliskan posting 'hari ini panas sekali' saya rasa begitu sepele.
Berbeda dengan alur ide dan kaitan tiap kalimat dan paragraf dalam tulisan ini. Walau bagi beberapa dianggap tulisan yang ringan. Namun tidak ringan bagi saya sebagai penulisnya.Â
Menulis artikel ini membutuhkan jam terbang tinggi. Guna mendapat aliran ide yang mulus meluncur dari antar kalimat dan paragraf. Memilih diksi dalam kalimat pun membutuhkan olah fikir yang baik. Apa yang Anda baca sebagai produk adalah filterisasi ribuan kata yang dianggap fit and proper.
Dan yang paling penting dalam menulis ini adalah mewujudkan niat menjadi kalimat. Banyak pembaca di Kompasiana saya yakin pintar menulis. Entah itu tulisan jurnalistik atau akademik.Â
Namun melihat 'medan' Kompasiana yang menuntut telikung berbeda dalam menulis. Bisa dibilang Kompasiana adalah kawah Candradimuka tulisan. Tulisan ilmiah yang terlalu rigid kadang tidak dikerubungi pembaca. Tulisan yang nyleneh dan tanpa pesan kuat bisa membuat kita berhenti membaca di paragraf pertama.
Menguatkan rasa dan nuansa untuk sesegera mendapat deretan aksara itu sulit. Membutuhkan keinginan untuk mementingkan tulisan yang buat beberapa orang tidak penting.
Walau dilematis, namun sepertinya ada jawaban dari judul diatas. Bahwa ada suplementasi dan resiprokalitas dari dua entitas di atas. Baik yang penting menulis atau menulis yang penting saling membangun dan bertimbal balik.
Salam,
Wonogiri, 28 Juni 2019
09:13 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H