Misalnya, pemerintah bisa mengatur warung/rumah makan/restoran selama mudik dengan aturan harga batas bawah 5% dan batas atas 15%. Bagi pelanggar bisa dikenai sanksi administratif. Pelanggan pun mendapatkan kepastian dengan bisa melaporkan via kontak pengaduan.
Namun imbas makro-ekonomis dari model ketok harga warung/rumah makan ini lebih merugikan seperti:
- Pemudik lebih memilih rumah makan model franchise dengan harga makanan serupa dengan daerah lain
- Pemudik menghindari rumah makan tradisional dengan menu kuliner khas daerah
- Pemudik lebih baik membeli snack di toko kelontong waralaba daripada di toko konvensional
- Pemudik via sosmed akan 'mengadu' di linimasa dan menandai di peta warung mana saja yang ketok harga
Budaya ini bukan saja terjadi di masa Lebaran. Sebuah warung makan di Anyer pernah dikritisi netizen karena ketok harga yang tidak masuk akal saat liburan. Akhirnya, ada himbauan untuk bertanya harga makanan sebelum memesan.
Bertanya menu makanan plus harganya tentu menjadi solusi dan penghemat isi kantong. Namun sekali lagi, dalam moda kelaparan dan kelelahan pemudik. Dorongan fisik dan psikologis untuk segera makan menjadi kuat.Â
Karena belum tentu di 5 km ke depan ada warung makan. Kalau ada pun bisa jadi makanan sudah habis. Sehingga faktor psiko-sosial ketok harga ini pun menjadi budaya inklandestin pemudik dan penjual.
Salam,
Wonogiri, 31 Mei 2019
11:03 pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI