Kecepatan persebaran dan produksi hoaks begitu masif dan terstruktur. Jangkauan dan sumber informasi dunia digital kini tanpa batas. Beragam sumber dan jenis informasi menumbuhkan polarisasi ekstrim sosial media.
Polarisasi fanatisme dukungan pasangan Capres tumbuh subur di linimasa. Informasi apapun yang menjatuhkan pasangan Capres lawan diterima mentah-mentah. Tak jarang hoaks diglorifikasi dan di-trendingkan demi menjatuhkan citra kubu lawan.
Ratna Sarumpaet adalah korban manipulasi kabar. Oplas yang dijalani Ratna dibungkus menjadi pengeroyokan. Dengan tujuan tak lain meruntuhkan citra petahana. Begitu masif dan rapih rumor Ratna, sampai press conference dibuat demi politisasi isu.
Didesak nurani pribadi, Ratna Sarumpaet akhirnya mengaku kalau ia berbohong. Beberapa pihak pun pura-pura tidak tahu. Lalu ramai-ramai cuci tangan dari isu ini. Mereka yang menyanterkan hoaks ini pun mundur dengan teratur.Â
Namun hoaks kadung tersebar luas dan dipercaya. Sampai-sampai fakta bahwa Ratna berbohong dianggap bukan rekayasa kubu sendiri. Ratna dianggap sebagai penyusup untuk meruntuhkan citra Capres yang didukung.
Kecepatan dan kecekatan pihak-pihak yang mempercayai hoaks tidak terelakkan kini. Tanpa memandang pendidikan dan latar belakang keilmuan seseorang. Hoaks kini disebar dan dipercaya oleh siapapun.
Menurut Kemenkominfo, lebih dari 1.600 hoaks terkait Pemilu saja dideteksi selama 2018. Jadi selama 1 tahun, setidaknya ada rata-rata 4 hoaks per hari. Belum lagi ditambah hoaks bermuatan SARA, kesehatan, atau kebencanaan.
Hoaks sensasional kebanyakan dibubuhi ratusan like dan ribuan komen di Facebook/Instagram. Tak ayal banyak users yang membaca dan mempercayai. Belum lagi hoaks yang secara virtual sulit diterka sebarannya seperti via grup chat seperti WhatsApp.
Organisasi cek fakta seperti Mafindo tak jarang kewalahan. Jika satu hoaks telah diklarifikasi. Hoaks lain sudah beredar di linimasa. Begitupun dengan tim Jabar Saber Hoaks atau dari tim Kemenkominfo sendiri.
Posting klarifikasi tak jarang urung trending dan sedikit di-share. Pihak yang merasa klarifikasi fakta merugikan kubunya, malah sering mengingkari fakta dan tetap percaya hoaks. Namun perlakuan berbeda terjadi jika klarifikasi menguntungkan kubunya sendiri.
Apresiasi dan kerja keras organisasi, media, dan institusi cek fakta memang harus kita berikan. Terutama dalam hal kredibilitas dan independensi dalam publik dan netizen kian terpolarisasi.