Rambu Tanda BahayaÂ
Fenomena aksi nekat S dan AH hanyalah satu dari bentuk kebencian tribalisme digital. Bentuk paling ekstrim tribalisme digital antara lain aksi video eksekusi oleh ISIS atau aksi penembakan di mesjid di Christchurch New Zealand.
Namun bukan berarti aksi S dan AH bisa dianggap 'ringan'. Mungkin ada video dan aksi lain di konteks Indonesia yang juga beredar namun belum terangkat ke media.
Ada dua solusi dari bentuk ektrimisme dalam kelompok tribal berbasis digital ini:
- Pertama, mendeteksi jaringan dan infrastruktur kelompok dengan keberanian yang bertentangan dengan norma dan hukum. Contoh aksi S dan AH begitu spesifik dengan Pilpres. Masih ada kelompok lain berideologi berdasar agama, ras, dan separatisme yang berjejaring di dunia digital.
- Kedua, memberik edukasi nasionalisme dan cegah ekstrimisme di dunia nyata. Pendidikan kewarganegaraan kita terasa formal. Dan hanya ada di ruang kelas. Nilai-nilai pendidikan Pancasila pun hanya sebatas hafalan dan bukan panduan hidup bernegara.
- Ketiga, peran media dalam membangkitkan cinta tanah air dan norma. Media dan sosial media di Indonesia secara bersama dan konsisten menyiarkan konten berbasis nasionalisme. Siaran religi dan kebudayaan pun ditayangkan untuk yang selaras dengan nilai-nilai berbangsa.
Tidak boleh ada lagi pemakluman pada ujaran kebencian seperti kasus S dan AH. Ujaran kebencian yang dibentuk secara personal, algoritma, interpersonal dan komunal kian mengkhawatirkan.
Ruang-ruang digital yang menyediakan tumbuh suburnya kebencian sulit dilihat. Sehingga yang muncul dan tersorot adalah dampaknya. Ancaman pembunuhan dan pemenggalan kepala Presiden hanya ujung kecil dari besarnya gunung es kebencian digital.
Salam,
Wonogiri, 13 Mei 2019 |Â 05:32 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H